IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Oktober 2015

“PanggungDemokrasi yang Kosong”


“PanggungDemokrasi yang Kosong”
Oleh: Muammar Rafsanjani*
Dahulu, jalanan merupakan sebuah panggung demokrasi. Terutama bagi mereka para mahasiswa yang menyuarakan aspirasi,yang membela hak-hak kaum mustadh’afin. Disanalah tempat terukirnya sejarah perubahan besar bangsa Indonesia. Ingatan pun masih menolak lupa atas tragedi-tragedi yang terjadi di panggung demokrasi ini. Bayonet tertancap di dada, peluru yang datang entah dari mana, pejuang yang hilang entah kemana, darah menetes disana. Namun, kini jalanan hanya menjadi sebuah saksi bisu sebagai sebuah panggung demokrasi ini. Mahasiswa yang dengan bangganya mendeklarasikan diri sebagai agen perubahan atau yang sering kita dengar ‘agent of change’ kini hanya menjadi sebuah mitos. Sikap apatis terhadap problematika yang ada di negeri ini telah tertanam dikalangan mahasiswa. Bahkan tidak hanya sikap apatis, akan tetapi bersikap apriori terhadap kegiatan demonstrasi. Padahal problematika yang kita hadapi saat ini semakin hari semakin kompleks.

Senin, 13 Januari 2014

Pembangunan Nasional Berbasis Kerakyatan

Pembangunan Nasional Berbasis Kerakyatan[1]
Dalam kehidupan bernegara, dunia politik dan ekonomi tidak bisa terpisahkan antara satu dangan lainnya. Politik dan ekonomi sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, agar tujuan negara dalam membentuk/terciptanya negara yang power (kuat) maka keseimbangan antara sistem politik dan sistem ekonomi juga harus beriringan dengan baik pula. Jika salah satu sistem itu cacat maka untuk mewujudkan suatu cita-cita negara yang disegani oleh negara lain itu akan terseok dalam perjalanannya bahkan akan memungkinkan gagalnya suatu tujuan neegara itu.Sehingga untuk menciptakan bentuk negara yang power baik dalam hal politik (pemerintahan/ketatanegaraan) dan ekonomi (krisis) harus berjalan secara bersamaan (koherensi).
Jika hubungan antara sistem politik dan ekonomi ini berjalan beriringan dengan baik dalam suatu negara maka suatu negara itu akan berjalan baik pula. Misalnya peran pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan perencanaan dan pengarahan masyarakat kepada pusat-pusat usaha ekonomi (pembangunan) ini merupakan conto bagaimana sistem ini saling erat hubungannya dalam  sebuah negara. Sehingga setiap kebijakan yang di buat oleh pemerintah agar kestabilan sebuah negara terjaga maka harus memperhatikan dampaknya apa yang akan terjadi pada ekonomi, politik, budaya dan agama.
Indonesia sebagai negara yang digolongkan sebagai negara berkembang maka proyeksi pememerintahan lebih tertuju bagaimana Indonesia menjadi negara maju. Tentu dengan meningkatkan sistem politik dan ekonomi, dalam hal politik Indonesia harus memiliki sumber daya insani yang mampu secara structural dalam pemerintahan serta memiliki sistem ketahanan nasional yang kuat. Dalam sistem ekonomi pemerintah harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta harus dapat meningkatkan PDB negara dalam artian pertumbuhan ekonomi yang selalu baik. Jika negara mampu menyandingkan secara baik antara politik dan ekonomi maka cita-cita menjadi negara maju akan mudah terwujud.
Suatu negara dikatakan maju salah satu indikatornya adalah dilihat dari sisi ekonomi yaitu jika setiap masyarakat mampu memenuhi standar kehidupannya dalam satu hari sesuai dengan batas minimal konsumsi perharinya (pendapatan perkapita). Pendapatan perkapita masyarakat indonesia masih terlalu relative kecil bila di bandingkan dengan negara maju lainnya. Sehingga perlu dukungan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan setiap individu serta mengurangi pengangguran yang ada. Langkah pemerintah dalam mengurangi pengangguran dapat melalui dengan memperdayakan kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang memiliki nilai jual.
Demokrasi Ekonomi
gagasan demokrasi ekonomi tercantum baik dalam penjelasan UUD 1945 maupun pasal 33 ayat (4) UUD 1945 pascareformasi. UUD 1945 memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi.[2] Sebagai negara yang berdemokrasi maka alih-alih bahwa negara demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sehingga dapat diartikan bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara ini. Namun tidak secara langsung dikuasai oleh rakyat , beberapa bagian pokok diwakilkan oleh pengurusannya kepada negara, dalam hal ini adalah kepada badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Badan legislative dan eksekutif diberikan kekuasaannya untuk mengatur dan menyusun haluan-haluan dan perumusan kebijakan-kebijakan resmi negara, dalam pelaksanaannya badan ekskutif dan presidenlah yang berperan disini dan kontrol terhadap kostitusi dilaksanakan oleh badan yudikatif.
Cita-cita negara Indonesia yang sebagai landasan adalah UUD 1945 dan pancasila menjadi acuan dalam menggerakan negara. Sebagai masyarakat yang ber-agama maka perwujudan terhadap keTuhanan Yang Maha Esa itu adalah konsekuensi dari tauhid rakyat. Sehingga dalam hal ini keimanan terhadap tauhid akan menimbulkan makna rakyat adalah sebagai khalifah dimuka bumi yang diberi sebesar-besarnya untuk mengatur dan menjaga bumi demi kemakmuran dengan prinsip keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menurut soeharsono sagir, perekonomian setiap negara pasti berjalan menurut sistem tertentu, jenis sistem perekonomian yang di anut oleh Indonesia adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan (SEK).[3] Sehingga setiap langkah pergerakan perekonomian pada dasarnya harus memperhatikan keadaan rakyat Indonesia. Dengan adanya sistem ekonomi kerakyatan yang menjadi sasaran adalah bagaimana kemiskinan berkurang dari tahun-ketahun, peningkatan sumberdaya insani melalui bangku sekolah serta pembangunan nasional sudah seharusnya tidak keluar dari sistem ekonomi kerakyatan. Orientasi yang terbesar yang harus dilaksanakan oleh para wakil rakyat adalah bagaimana membentuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pembangunan Nasional
salah satu ciri utama negara-negara yang sedang berkembang adalah kometmen pemerintah terhadap pembangunan nasional. Bagaimana pemerintah membaca keadaan negaranya agar pembangunan nasional yang dicanangkan akan membaha hasil perubahan yang bernilai baik untuk negara maupun masyarakat. Pembangunan nasional ini dapat mendongkrak  menjadi sebuah negara yang mapan, tentunya jika bidikan pembangunan nasional sesuai dengan pra kondisi suatu negaranya. Dalam hal pembangunan nasional ini di setiap negara pasti berbeda-beda dalam menjawab dan merealisasikan konsep pembangunan nasional. Kendatinya langkah pembangunan disesuaikan oleh negara masing-masing namun prioritas pembangunan ini untuk mewujudkan sebuah negara yang super dari berbagai sisi.
Namun menurut prof, Moeljarot pembangunan nasional menurut beliau dapat disederhanakan menjadi beberapa model, sehingga kita dapat mengidentifikasi kategori-kategori model pembangunan nasional yang berfungsi sebagai kerangka perencanaan di masing-masing negara. Kategori-kategori model pembangunan tersebut ialah;[4]
           i.            Model pembangunaan nasional yang berorientasi pertumbuhan.
Model pembangunan ini memandang tujuan pertumbuhan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP per tahun pada angka 5-7 persen.
         ii.            Model pembangunan kebutuhan dasar/kesejahteraan
Model pembangunan ini muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan pada bagian penduduk miskin di negara-negara berkembang.
       iii.            Model pembangunan nasional yang berpusat pada manusia
Model pembangunan nasional ini ber pusat pada manusia, berwawasan lebih jauh daripada sekedar GNP atau pengadaan pelayaanan sosial.
Sedangkan pembangunan bangunan nasional ini intilah adalah berbasis terhadap kerakyatan, menurut soeharsono sagir pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan tercemin dalam prinsip triple track development, yaitu pro-poor, pro-jod, dan pro-grow. Dalam mengimplementasika ketiga prinsip itu, ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai berhasil-tidaknya suatu proses pembangunan itu, yaitu;[5]
i.           Rakyat terbebas dari kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas;
ii.         Rakyat bebas dari kebodohan dan terbedayakannya menjadi sumber daya insani (human        capital) yang produktif;
iii.       Rakyat terbebas dari pengangguran dengan bekerja kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan sendiri dan orang lain;
iv.       Negara terbebas dari ketergantungan kepada utang luar negeri;
v.         Negara terbebas dari kekurangan devisa karena nilai ekspor melebihi impor, dan
vi.       Negara terbebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan.

        Jika semua tolok ukur diatas dapat diterapkan dalam suatu negara maka dalam mengalisis negara akan mempermudah mengetahui keberhasilan-tidaknya pembangunan nasional itu. Poin i-iii sistem pembangunan nasional Indonesia sudah mengarah ke situ, tetapi tidak maksimalnya kenerja yang diberikan negara. Kemiskinan, kebodohan dan penganggurandi negeri ini presentasinya masih cukup besar. Begitu juga dengan point ke-iv utang Indonesia terhadap word bank juga tidak kelar-kelar lunas padahal sudah beberapa puluh tahun dan bergantian kepemimpinan kepalanegara. Keterpurukan perekonomian yang terjadi saan krisis besar-besaran pada tahun 1997/1998 membawa negara Indonesia harus berhutang ke bank dunia serta menambah banyaknya hutang dan sampai saat ini hutang itupun belum tuntas diselesaikan.
        Sedangkan untuk point ke-vi seharusnya pelestarian sumber daya alam secara bijak agar dapat berfungsi secara berkelanjutan. Pelestarian ekologis di Indonesia masih kurang terkontrol dengan baik, banyak hutan-hutang yang di tumbang berdalih untuk kemakmuran rakyat untuk ditanami komoditi sawit dan karet, namun penguasaannya juga dikuasai oleh orang-orang kaya dalam negri dan luar negeri. Pengerukan sumber daya alam yang tidak bijak akan membawa dampak jangka panjang yang menyedihkan untuk generasi berikutnya. Alam yang hijo royo-royo jangka pangjang jika tidak dikelolah dengan baik dan benar untuk generasi berikutnya tidak dapat lagi menikmati hutan yang hijo royo-royo lagi mereka akan menemukan dunianya yang gersang dan panas.
        Respon terhadap ekologis ini pun menjadi acuan masyarakat dunia agar ekologis di negara-negara tropis seperti Indonesia, Brazin, dan sebagian Afrika agar tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan dengan mencanangkan grow green.  Hal ini karena sudah terasanya ketidak seimbangnya teknoligi yang di gunakan dengan alam sebagai penyeimbang. Banyaknya pesawat dan kendaraan yang mengeluarkan pembuangan hasil pembakaran bila tidak ada kesimbangan hutan maka udara akan semakin tercemar serta akan menggangu kesehatan masyarakat
        Sudah seharusnya sistem pemerintahan Indonesia saling mendukung sistem pembangunan nasional yang berbasis ekonomi kerakyatan, rakyat memilih wakilnya untuk dapat memberikan timbal balik terhadap rakyat agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terpenuhi oleh negara. Untuk itu pembagian tugas antara badan legislative, eksekutif dan yudikatif harus berjalan bersama dengan jalan yang lurus. Secara pembagian tugas lembaga-lembaga pemerintahan itu adalah pertama, Lembaga eksekutif dan legislative bertindak sebagai  policy maker yang dituangkan dalam bentuk undang-unfang yang mengikat untuk umum. Sedangkan yang kedua, lembaga yudikatif, bertindak sebagai wasit yang memberikat peringtan dan mengeksekusi apabila ada sengketa, pertentangan, konflik.
        Itulah yang harus dikerjakan negara dalam membentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita keadilan sosial (ekonomi) kemudian politiklah yang memutuskan cita-cita itu dan hukum sebagai pengontrol jalannya politik, ekonomi yang telah diputuskan dalam undang-undang.




[1] Pembangunan nasional berbasis kerakyatan oleh Ari susanto, makalah untuk trapolnas IMM
[2] Jimly asshiddiqie, konstitusi ekonomi.2010.jakarta:kompas hal-353
[3] ibid
[4] Moeljarto, politik pembangunan, sebuah analisis, konsep, arah dan strategi.1995. Yogyakarta:Tiara Wacana cet-3 hal 32-35
[5] Jimly asshiddiqie, konstitusi ekonomi.2010.jakarta:kompas hal-354Pembangunan Nasional Berbasis Kerakyatan[1]
Dalam kehidupan bernegara, dunia politik dan ekonomi tidak bisa terpisahkan antara satu dangan lainnya. Politik dan ekonomi sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, agar tujuan negara dalam membentuk/terciptanya negara yang power (kuat) maka keseimbangan antara sistem politik dan sistem ekonomi juga harus beriringan dengan baik pula. Jika salah satu sistem itu cacat maka untuk mewujudkan suatu cita-cita negara yang disegani oleh negara lain itu akan terseok dalam perjalanannya bahkan akan memungkinkan gagalnya suatu tujuan neegara itu.Sehingga untuk menciptakan bentuk negara yang power baik dalam hal politik (pemerintahan/ketatanegaraan) dan ekonomi (krisis) harus berjalan secara bersamaan (koherensi).
Jika hubungan antara sistem politik dan ekonomi ini berjalan beriringan dengan baik dalam suatu negara maka suatu negara itu akan berjalan baik pula. Misalnya peran pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan perencanaan dan pengarahan masyarakat kepada pusat-pusat usaha ekonomi (pembangunan) ini merupakan conto bagaimana sistem ini saling erat hubungannya dalam  sebuah negara. Sehingga setiap kebijakan yang di buat oleh pemerintah agar kestabilan sebuah negara terjaga maka harus memperhatikan dampaknya apa yang akan terjadi pada ekonomi, politik, budaya dan agama.
Indonesia sebagai negara yang digolongkan sebagai negara berkembang maka proyeksi pememerintahan lebih tertuju bagaimana Indonesia menjadi negara maju. Tentu dengan meningkatkan sistem politik dan ekonomi, dalam hal politik Indonesia harus memiliki sumber daya insani yang mampu secara structural dalam pemerintahan serta memiliki sistem ketahanan nasional yang kuat. Dalam sistem ekonomi pemerintah harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta harus dapat meningkatkan PDB negara dalam artian pertumbuhan ekonomi yang selalu baik. Jika negara mampu menyandingkan secara baik antara politik dan ekonomi maka cita-cita menjadi negara maju akan mudah terwujud.
Suatu negara dikatakan maju salah satu indikatornya adalah dilihat dari sisi ekonomi yaitu jika setiap masyarakat mampu memenuhi standar kehidupannya dalam satu hari sesuai dengan batas minimal konsumsi perharinya (pendapatan perkapita). Pendapatan perkapita masyarakat indonesia masih terlalu relative kecil bila di bandingkan dengan negara maju lainnya. Sehingga perlu dukungan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan setiap individu serta mengurangi pengangguran yang ada. Langkah pemerintah dalam mengurangi pengangguran dapat melalui dengan memperdayakan kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang memiliki nilai jual.
Demokrasi Ekonomi
gagasan demokrasi ekonomi tercantum baik dalam penjelasan UUD 1945 maupun pasal 33 ayat (4) UUD 1945 pascareformasi. UUD 1945 memang mengandung gagasan demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi.[2] Sebagai negara yang berdemokrasi maka alih-alih bahwa negara demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sehingga dapat diartikan bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara ini. Namun tidak secara langsung dikuasai oleh rakyat , beberapa bagian pokok diwakilkan oleh pengurusannya kepada negara, dalam hal ini adalah kepada badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Badan legislative dan eksekutif diberikan kekuasaannya untuk mengatur dan menyusun haluan-haluan dan perumusan kebijakan-kebijakan resmi negara, dalam pelaksanaannya badan ekskutif dan presidenlah yang berperan disini dan kontrol terhadap kostitusi dilaksanakan oleh badan yudikatif.
Cita-cita negara Indonesia yang sebagai landasan adalah UUD 1945 dan pancasila menjadi acuan dalam menggerakan negara. Sebagai masyarakat yang ber-agama maka perwujudan terhadap keTuhanan Yang Maha Esa itu adalah konsekuensi dari tauhid rakyat. Sehingga dalam hal ini keimanan terhadap tauhid akan menimbulkan makna rakyat adalah sebagai khalifah dimuka bumi yang diberi sebesar-besarnya untuk mengatur dan menjaga bumi demi kemakmuran dengan prinsip keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menurut soeharsono sagir, perekonomian setiap negara pasti berjalan menurut sistem tertentu, jenis sistem perekonomian yang di anut oleh Indonesia adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan (SEK).[3] Sehingga setiap langkah pergerakan perekonomian pada dasarnya harus memperhatikan keadaan rakyat Indonesia. Dengan adanya sistem ekonomi kerakyatan yang menjadi sasaran adalah bagaimana kemiskinan berkurang dari tahun-ketahun, peningkatan sumberdaya insani melalui bangku sekolah serta pembangunan nasional sudah seharusnya tidak keluar dari sistem ekonomi kerakyatan. Orientasi yang terbesar yang harus dilaksanakan oleh para wakil rakyat adalah bagaimana membentuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pembangunan Nasional
salah satu ciri utama negara-negara yang sedang berkembang adalah kometmen pemerintah terhadap pembangunan nasional. Bagaimana pemerintah membaca keadaan negaranya agar pembangunan nasional yang dicanangkan akan membaha hasil perubahan yang bernilai baik untuk negara maupun masyarakat. Pembangunan nasional ini dapat mendongkrak  menjadi sebuah negara yang mapan, tentunya jika bidikan pembangunan nasional sesuai dengan pra kondisi suatu negaranya. Dalam hal pembangunan nasional ini di setiap negara pasti berbeda-beda dalam menjawab dan merealisasikan konsep pembangunan nasional. Kendatinya langkah pembangunan disesuaikan oleh negara masing-masing namun prioritas pembangunan ini untuk mewujudkan sebuah negara yang super dari berbagai sisi.
Namun menurut prof, Moeljarot pembangunan nasional menurut beliau dapat disederhanakan menjadi beberapa model, sehingga kita dapat mengidentifikasi kategori-kategori model pembangunan nasional yang berfungsi sebagai kerangka perencanaan di masing-masing negara. Kategori-kategori model pembangunan tersebut ialah;[4]
           i.            Model pembangunaan nasional yang berorientasi pertumbuhan.
Model pembangunan ini memandang tujuan pertumbuhan nasional sebagai pertumbuhan ekonomi dalam arti sempit, yakni menyangkut kapasitas ekonomi nasional yang semula dalam jangka waktu yang lama berada dalam kondisi statis, kemudian bangkit untuk menghasilkan peningkatan GNP per tahun pada angka 5-7 persen.
         ii.            Model pembangunan kebutuhan dasar/kesejahteraan
Model pembangunan ini muncul untuk mengoreksi kekurangan-kekurangan model pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan. Model ini memfokuskan pada bagian penduduk miskin di negara-negara berkembang.
       iii.            Model pembangunan nasional yang berpusat pada manusia
Model pembangunan nasional ini ber pusat pada manusia, berwawasan lebih jauh daripada sekedar GNP atau pengadaan pelayaanan sosial.
Sedangkan pembangunan bangunan nasional ini intilah adalah berbasis terhadap kerakyatan, menurut soeharsono sagir pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan tercemin dalam prinsip triple track development, yaitu pro-poor, pro-jod, dan pro-grow. Dalam mengimplementasika ketiga prinsip itu, ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai berhasil-tidaknya suatu proses pembangunan itu, yaitu;[5]
i.           Rakyat terbebas dari kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas;
ii.         Rakyat bebas dari kebodohan dan terbedayakannya menjadi sumber daya insani (human        capital) yang produktif;
iii.       Rakyat terbebas dari pengangguran dengan bekerja kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan sendiri dan orang lain;
iv.       Negara terbebas dari ketergantungan kepada utang luar negeri;
v.         Negara terbebas dari kekurangan devisa karena nilai ekspor melebihi impor, dan
vi.       Negara terbebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan.

        Jika semua tolok ukur diatas dapat diterapkan dalam suatu negara maka dalam mengalisis negara akan mempermudah mengetahui keberhasilan-tidaknya pembangunan nasional itu. Poin i-iii sistem pembangunan nasional Indonesia sudah mengarah ke situ, tetapi tidak maksimalnya kenerja yang diberikan negara. Kemiskinan, kebodohan dan penganggurandi negeri ini presentasinya masih cukup besar. Begitu juga dengan point ke-iv utang Indonesia terhadap word bank juga tidak kelar-kelar lunas padahal sudah beberapa puluh tahun dan bergantian kepemimpinan kepalanegara. Keterpurukan perekonomian yang terjadi saan krisis besar-besaran pada tahun 1997/1998 membawa negara Indonesia harus berhutang ke bank dunia serta menambah banyaknya hutang dan sampai saat ini hutang itupun belum tuntas diselesaikan.
        Sedangkan untuk point ke-vi seharusnya pelestarian sumber daya alam secara bijak agar dapat berfungsi secara berkelanjutan. Pelestarian ekologis di Indonesia masih kurang terkontrol dengan baik, banyak hutan-hutang yang di tumbang berdalih untuk kemakmuran rakyat untuk ditanami komoditi sawit dan karet, namun penguasaannya juga dikuasai oleh orang-orang kaya dalam negri dan luar negeri. Pengerukan sumber daya alam yang tidak bijak akan membawa dampak jangka panjang yang menyedihkan untuk generasi berikutnya. Alam yang hijo royo-royo jangka pangjang jika tidak dikelolah dengan baik dan benar untuk generasi berikutnya tidak dapat lagi menikmati hutan yang hijo royo-royo lagi mereka akan menemukan dunianya yang gersang dan panas.
        Respon terhadap ekologis ini pun menjadi acuan masyarakat dunia agar ekologis di negara-negara tropis seperti Indonesia, Brazin, dan sebagian Afrika agar tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan dengan mencanangkan grow green.  Hal ini karena sudah terasanya ketidak seimbangnya teknoligi yang di gunakan dengan alam sebagai penyeimbang. Banyaknya pesawat dan kendaraan yang mengeluarkan pembuangan hasil pembakaran bila tidak ada kesimbangan hutan maka udara akan semakin tercemar serta akan menggangu kesehatan masyarakat
        Sudah seharusnya sistem pemerintahan Indonesia saling mendukung sistem pembangunan nasional yang berbasis ekonomi kerakyatan, rakyat memilih wakilnya untuk dapat memberikan timbal balik terhadap rakyat agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terpenuhi oleh negara. Untuk itu pembagian tugas antara badan legislative, eksekutif dan yudikatif harus berjalan bersama dengan jalan yang lurus. Secara pembagian tugas lembaga-lembaga pemerintahan itu adalah pertama, Lembaga eksekutif dan legislative bertindak sebagai  policy maker yang dituangkan dalam bentuk undang-unfang yang mengikat untuk umum. Sedangkan yang kedua, lembaga yudikatif, bertindak sebagai wasit yang memberikat peringtan dan mengeksekusi apabila ada sengketa, pertentangan, konflik.
        Itulah yang harus dikerjakan negara dalam membentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita keadilan sosial (ekonomi) kemudian politiklah yang memutuskan cita-cita itu dan hukum sebagai pengontrol jalannya politik, ekonomi yang telah diputuskan dalam undang-undang. (Ari Susanto)



[1] Pembangunan nasional berbasis kerakyatan oleh Ari susanto, makalah untuk trapolnas IMM
[2] Jimly asshiddiqie, konstitusi ekonomi.2010.jakarta:kompas hal-353
[3] ibid
[4] Moeljarto, politik pembangunan, sebuah analisis, konsep, arah dan strategi.1995. Yogyakarta:Tiara Wacana cet-3 hal 32-35
[5] Jimly asshiddiqie, konstitusi ekonomi.2010.jakarta:kompas hal-354

Selasa, 03 Desember 2013

FANATIK (GOLONGAN) ATAU MILITANSI ???


            Hidup dalam sebuah gerakan atau ormas dan berjuang bersamanya adalah suatu pilihan ideologi yang akan membentuk cara berpikir kita. Biasanya, setelah kita merasa ‘nyaman’, sepemikiran dengan (ideologi) gerakan tertentu, akan timbul jiwa heroik atau semangat juang untuk berjuang bersama gerakan tersebut. Singkatnya, ada rasa kepemilikan terhadap gerakan. Tetapi, seringkali para aktivis gerakan terjebak dalam kefanatikan. Alih-alih mau menjadi anggota yang militan, malah jatuh ke jurang fanatisme.
            Dari fenomena-fenomena yang ada, fanatisme pun akhirnya menjadi penyakit khas dalam gerakan dan ormas. Dan parahnya, jika kefanatikan itu sangat kuat, bisa jadi menimbulkan kefundamentalan dan keradikalan dalam berfikir dan bertindak. Adapun militansi memang sangat diperlukan ketika kita bergabung dalam sebuah gerakan, ormas ataupun kelompok lainnya. Dan ingat! Bukan fanatisme yang dibutuhkan.

Kamis, 21 November 2013

MUSLIMAH SEJATI BERJUANG UNTUK NEGERI

MUSLIMAH SEJATI BERJUANG UNTUK NEGERI

A.  Indahnya negeri dengan perhiasan dunia

Ø TEORI
Dari tahun ke tahun, dunia mengalami krisis teladan. Hal ini terkait dengan globalisasi dunia barat yang marak dibicarakan oleh masyarakat dunia. Parahnya, hal ini tersebar luas kepada seorang pemuda harapan bangsa, bukan hanya disekitar pemuda yang tidak berpendidikan akan tetapi mayoritas pada kalangan pelajar. Aneka kejadian bencanapun meningkat tajam.
Dampak dari globalisasi dunia barat kian terasa, tak terhitung lagi pelajar yang beraneka ragam idola, mode, bahasa pun yang mengarah kebarat-baratan yang menyebabkan moral bangsa mulai memburuk. Sehingga, hal ini menimbulkan kekhawatiran bangsa akan semakin terpuruknya bangsa ini. Ada beberapa tokoh yang dapat menghentikan keterpurukan bangsa ini, salah satunya oleh seorang muslimah sejati.

Minggu, 10 November 2013

Miss World “ Kejahatan Manusia”



Miss World  “ Kejahatan Manusia”. Sampai saat ini ajang kontes kecantikan dunia “Miss World” masih hangat untuk menjadi bahan perbincangan masyarakat Indonesia khususnya organisasi masyarakat Islam. Miss World yang sudah diadakan di Indonesia pada tanggal 8 September 2013 kemarin ini jelas menuai kontroversi bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Meskipun ada yang mendukung dengan alasan promosi pariwisata dan budaya Indonesia, namun tidak sedikit dari masyarakat yang menolak kontes kecantikan ini.    

Jumat, 08 November 2013

Ruang Putih SBY


https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTa58pJruEpWECHt2agxeD3C85Rjn_YkI_uU8klbTvqUks3YyPi
Putih
Ruang Putih SBY. Beberapa bulan terakhir, Indonesia bergejolak! Berbagai permasalahan mewarnai negara ini. Termasuk permasalahan yang terjadi pada Juni ini, yaitu kenaikan harga BBM. Siapa yang tidak tahu, para demonstran di beberapa daerah menggelar aksinya habis-habisan. Demi menolak kenaikan harga BBM yang dipandang akan memiskinkan rakyat yang berkehidupan menengah ke bawah, meskipun dijamin dengan subsidi pemerintah. Namun, tetap bukan itu yang dirasa bisa mensejahterakan rakyat.

Rabu, 06 November 2013

BUKAN SEKEDAR MEMPERINGATI HARI PAHLAWAN


Tulisan oleh: IMMawan Riza Awal Novanto
 
Semua orang pasti tahu ada apa ditanggal 10 november, yaaa benar sekali. Tanggal tersebut biasa kita peringati sebagai hari pahlawan. pada saat itu para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya. Kita sebagai warga Negara pasti akan selalu menjaga dan mengenang perjuangan para pahlawan terdahulu. Namun menjaga dan mengenang saja tidak cukup bagi kita yang hidup tinggal enaknya saja menikmati kemerdekaan ini.

Banyak masyarakat kita yang memperingati hari pahlawan dengan mengadakan upacara bendera merah putih 1 [satu] tiang penuh di makam pahlawan di setiap daerahnya, serta merayakan berbagai momen. Banyak juga yang hanya mengucapkan selamat hari pahlawan. Lalu apakah semua itu sebanding dengan orang-orang terdahulu kita yang berjuang melawan para tentara inggris dengan bambu runcing.? Tidaakk..!!!,

Kamis, 31 Oktober 2013

DILEMATIK DAKWAHTAINMENT: Alternatif Hiburan VS Edukasi Religi


DILEMATIK DAKWAHTAINMENT:
Alternatif Hiburan VS Edukasi Religi

“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl [16]: 125)

I
slam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sepatutnya menjadikan umatnya tergerak agar menjadi individu rahmatan lil ‘alamin. Umat yang selalu ‘stand by’ pada pergerakan zaman yang terus menantang pada kemajuan global, dan tentu menjadi garda terdepan saat potensi dan gejala-gejala nilai keislaman tergerus oleh perkembangan yang memerangi keluhuran ajaran Islam.
Dengan asumsi bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai ranah Masyarakat Informasi, hal ini menjadikan media digadang-gadang sebagai komoditas lahan strategis untuk perluasan sektor dakwah. Keluwesan masyarakat terhadap media informasi merupakan mangsa yang empuk untuk dijadikan objek dakwah melalui media. Produsen mediapun tak kalah cerdik untuk mengimbangi potensi yang ada. Sehingga situasi yang sinkron menemui titik terang dalam mengakomodir program-program bertajuk religi. Dengan kata lain, potensi dakwah memerlukan saluran untuk melancarkannya, dan media begitu welcome menjadi wadah penyalurannya.
Memang, dengan kondisi seperti saat ini sangat memudahkan untuk segala aktivitas, termasuk perluasan teritorial dakwah, hingga nilai-nilai Islam diharapkan membumi dan merekat dalam kehidupan keseharian. Namun kita jangan terkecoh dengan semua situasi tersebut, kita lihat begitu banyak problematika yang menyeret esensi dakwah yang tercemar karena kapitalisasi dan politisasi media. Ini terjadi karena media sebagai wadah strategis justru lebih mementingkan eksistensinya agar digandrungi oleh pemirsa. Rating menjadi simbol andalan prestasi sebuah media, tanpa melihat sarat akan nilai-nilai yang tersampaikan kepada audiens.
Kita tarik televisi yang menjadi media untuk objek kajian, spesifikasinya terletak pada program religi. Sudah sangat terlihat jelas oleh kita bahwa substansi dakwah hilang karena tujuan-tujuannya tergeser oleh hiburan yang di dalamnya terlalu mendominasi konten program sesungguhnya. Da’I yang digandrungi dan menjadi trading topic adalah yang memiliki kemampuan melawak, bahkan seringkali yang nampak bukan citra diri sebagai penyampai dakwah justru melebihkan porsinya sebagai pelawak sejuta fans. Belum lagi gimmick atau jargon mereka (da’I dan da’iah) untuk menarik perhatian terkesan lebay dan dramatis.
Di segmen lainnya, program religi menyediakan hadiah jutaan rupiah untuk pemirsa di studio maupun di rumah, ini terkesan mengimingi-imingi materi agar tidak kehilangan partisipasi pemirsa. Maka timbul pertanyaan yang mengarah pada transformasi niat pemirsa, “apa niat pemirsa yang sesungguhnya? Benar untuk mengaji atau sekedar mengharap hadiah?”.
Khusus di bulan Ramadhan dan Idul Fitri iklan-iklan di televisi banyak bertebaran nuansa keislaman, menghangatkan suasana. Namun yang kita lihat bahwa Islam di dalam iklan seolah hanya berupa simbol-simbol tertentu, seperti jilbab, peci, buka puasa, masjid, beduk, warna putih, dan lain-lain. Selain itu isi iklan yang disampaikan terkadang terbilang terlalu menyederhanakan sebuah perkara yang kerap terjadi dalam diri orang yang berpuasa, misalnya menahan amarah selama menjalankan puasa dapat dikategorikan sebagai sukses dalam kesabaran jika setelahnya minum teh atau minuman, begitulah nilai ajaran Islam dalam iklan. Semuanya cenderung menampilkan nilai-nilai yang praktis dan nampak bias. Itulah nilai-nilai Islam yang menjadi korban konversi media. 
Masih banyak kasus yang membalut nilai Islam yang dipaksakan dalam media-media tertentu. Kita perlu mengetahui bahwa tujuan antara media seperti televisi dengan dakwah yang sesungguhnya sangatlah berbeda. Televisi cenderung untuk hiburan, sementara dakwah yang mengarah pada sifatnya yang sakral. Keduanya sulit untuk saling membalut agar tujuan esensi dakwah untuk benar tersampaikan pada pemirsa.
Kita tidak bisa memungkiri, bahwa kita terbentur pada minat pemirsa yang sulit untuk memiliki kesadaran mempelajari ajaran Islam itu tanpa embel-embel  hiburan yang kurang berkualitas. Mulailah cerdas saat memilih tayangan di televisi maupun media lainnya. Kritislah pada makna yang disampaikan hingga sebuah hikmah tertangkap dan menjadi rujukan keteladanan yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka terciptalah sebuah idealitas akan kebutuhan masyarakat terhadap media dakwah; menyampaikan secara arif dalam konteks sosial dan agama.

--Dini Fitrah Eristanti--

Rabu, 22 Mei 2013

Indonesia dan Import



Membicarakan tentang perekonomian Indonesia tak dapat kita lepaskan dari salah satunya yaitu Ekspor dan Impor. Akhir-akhir ini terjadi kenaikan harga bawang, dan daging yang diberitakan salah satu penyebabnya adalah pengurangan jumlah impor dari sebelumnya. 

Beberapa bulan terakhir Mentan membatasi kuota impor untuk holtikultura dan daging. Saya pribadi sebagai salah satu mahasiswa jurusan ekonomi dan perbankan syariah yang ada di Indonesia sangat mendukung adanya pembatasan import yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah produksi dalam negeri. Sehingga ketergantungan terhadap import itu dapat teratasi.

Jumat, 03 Mei 2013

Media Massa Harus Berperan

Kekerasan usianya sudah setua sejarah dan peradaban, namun bukannya berkurang tapi justru semakin meningkat. Survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menunjukkan sepanjang tahun 2012 tingkat kekerasan di sekolah mencapai 87,6%. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2011 terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia, dan pada Januari-Juni 2012 terjadi 585 kasus. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mencatat setidaknya ada 68 kasus kekerasan pada jurnalis selama periode Desember 2011-Desember 2012.

Senin, 22 April 2013

ETIKA DALAM FORUM


Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos, sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

Tags

Artikel Kader (34) Politik (17) Pemikiran (6) Filsafat (5) Motivasi (5) Muhammadiyah (5) Imm Fai (4) Agama (3) pendidikan (3) Leadersip (2) Umum (2) Media (1) Sosial Budaya (1)