Tulisan
ini adalah tulisan sederhana yang harapannya dapat membantu kita semua dalam
memaknai kehidupan untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan. Manusia yang ada
didalam hiruk-pikuk dunia yang ditinggalinya sering merasakan kekosongan
terhadap kehidupan yang dijalaninya. Dunia yang modern ini menghadirkan
berbagai macam kemajuan bagi umat manusia. Namun, tidak jarang manusia
merasakan kehampaan dari segala hal tersebut. Jepang sebagai salah satu Negara
maju di dunia dengan salah satu pendapatan perkapita yang juga tertinggi di
dunia justru memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia. Padahal ini justru
dirasa kurang relevan ketika masyarakat Jepang hidup berkecukupan dan memiliki
kemajuan dalam berbagai hal.
Banyak orang yang bercita-cita
menjadi kaya raya dan sukses dalam segala hal. Ketika segala hal tersebut
tercapai kebahagiaan belum juga dimilikinya. Bahkan banyak fenomena orang-orang
miskin justru lebih bahagia dibandingkan orang-orang kaya. Kenapa hal ini
terjadi ? Hal ini dikarenakan manusia hari ini cendrung materialistik.
Orientasi hidup manusia hanyalah hal-hal yang bersifat materi, padahal materi
hanyalah salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Dengan kata lain
kaya dan sukses hanyalah salah satu jalan bagi manusia dalam mencapai
kebahagiaan. Sehingga cita-cita manusia yang sejati adalah menjadi orang yang
bahagia.
Ary Ginanjar dalam sebuah videonya
menjelaskan manusia perlu modal dalam mencapai kesukesan. Disini penulis akan
melakukan reorientasi yang awalnya kesuksesan menjadi kebahagiaan. Ketika
berbicara modal manusia sering mengaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi
misalnya, uang. Memang uang juga dapat dikatakan sebagai modal, namun tidak
dapat dikatakan sebagai modal yang memiliki pengaruh besar dalam mencapai
tujuannya tersebut. Setidaknya ada 3 modal utama yang membantu manusia mencapai
kebahagiaannya. Pertama IQ, modal ini
adalah hal yang berkaitan dengan kecerdasan intelegensi manusia yang biasanya
diukur dengan indeks prestasi. Dengan kecerdasan intelegensi manusia dapat
melakukan modernisasi teknologi, membentuk tatanan kehidupan, membuat sistem
hukum dan sebagainya. Kedua EQ, yaitu
kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan intelegensi mungkin manusia dapat
sukses menjadi seorang pengacara hukum. Namun, tanpa adanya kecerdasan
emosional, menjadi pengacara hukum manusia tidak lagi mempertimbangkan mana
yang perlu dibela atas nama keadilan. Dengan adanya kecerdasan emosional inilah
manusia dapat melakukan tindakan yang sekiranya sesuai dengan nurani. Ketiga SQ, yang ketiga inilah hal yang
paling utama bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Dengan adanya IQ dan EQ
mungkin sudah dapat melakukan tindakan yang ideal. Namun, ketika dia tidak
memiliki kecerdasan spiritual dalam dirinya yang terjadi adalah kehampaan atas
segala yang dilakukannya. Tanpa adanya kecerdasan spiritual manusia tidak akan
memahami untuk apa dia sukses, untuk apa dia kaya dan untuk apa dia hidup. Padahal nilai dari segala sesuatu yang ada di
dunia ini tergantung pemaknaan kita terhadapnya. Sebagai contoh, air pasti akan
lebih berarti dibandingkan uang yang banyak bagi seseorang yang terjebak
ditengah gurun pasir. Namun, orang yang tidak mampu memaknai arti hidup dan
selalu berorientasi pada materi justru lebih memilih uang dibandingkan air yang
lebih bernilai pada kondisinya saat itu.
Dalam mencari kebahagiaan,terdapat
dua jalan, yaitu sulit dan mudah. Sayangnya manusia justru lebih suka mencari
jalan yang sulit dibandingkan yang mudah. Sebagaimana apa yang dikatakan Goerge
Bernard Shaw, “manusia tidak kuat mencari jalan bahagia atau tidak kuat
menyingkir dari jalan sengsara”. Sebagai makhluk yang memiliki nafsu, manusia
cendrung tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Misalnya, ketika
memiliki sepeda maka ia menginginkan motor, setelah motor ia menginginkan mobil
dan seterusnya. Dengan hal seperti ini niscaya kebahagiaan tidak akan pernah
tercapai. Hal ini bukan berarti penulis bermaksud membatasi impian pembaca,
namun ketika impian tersebut tidak tercapai maka bisa jadi ada rencana lebih
besar yang disiapkan oleh Allah kepada kita. Sehingga ketika kegagalan terjadi
bukan menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Disamping
jalan yang sulit, ada jalan yang mudah menuju kebahagiaan, jalan itu ialah
agama. Menurut ahli syair, Hutai’ah, bahagia itu adalah taqwa kepada Allah. Namun
meskipun mudah tentulah tetap ada rintangannya. Seorang ibu yang mengandung
selama 9 bulan dan melahirkan tentu mengalami sakit dan penderitaan. Namun,
sakit dan derita tersebut seketika hilang ketika anaknya dilahirkan. Sehingga
dapatlah dikatakan sakit, derita dan sengsara juga merupakan salah tangga
mencapai kebahagiaan. Dengan bertaqwa berarti kita melakukan segala perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Salah satu perintah Allah adalah selalu
bersyukur terhadap nikmat yang diberikannya. Syukur inilah yang menjadi kunci
bahagia, bahwasanya bahagia itu dekat dengan kita dan bahagia itu ada dalam
diri kita. Rasulullah SAW bersabda, “Jika petang dan pagi seorang manusia telah
mendapatkan rasa aman dan sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang
bahagia”. Sesederhana itulah bahagia, namun sayangnya manusia sering melupakan
nikmat yang didapatkannya. Ketika mengalami musibah, tidak jarang manusia
langsung berkesimpulan dirinya mengalami kesialan. Hanya dengan sebuah musibah
kecil pada suatu hari manusia dapat mengeneralisir harinya tersebut dengan
sebuah kata ‘sial’. Sebagai contoh kecil, suatu hari seseorang mengalami bocor
ban dalam berkendara, maka dia langsung menyimpulkan bahwa dia mengalami hari
yang sial. Dirinya tidak menyadari berapa besar nikmat yang dimilikinya mulai
bangun tidur, dia masih diberikan kesempatan merasakan dunia, bernafas,
berkendara dan banyak lagi nikmat lainnya. Namun, dia berkesimpulan harinya
sial hanya karena mengalami bocor ban pada saat berkendara. Padahal bisa saja
ketika tidak terjadi bocor ban justru musibah lebih besar yang akan menimpanya.
Allah berfirman, “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan bisa saja kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 216).
Selalu
ada hikmah yang terkandung dalam setiap kejadian yang kita alami. Bersyukur
terhadap segala kejadian tersebutlah yang menjadi sebuah kunci kebahagiaan bagi
manusia. Tanpa rasa syukur kepada nikmat Allah manusia tidak akan pernah
mencapai kepuasaan dalam dirinya. Rasa puas ini bisa didapatkan ketika manusia
mampu memaknai setiap kejadian yang dialaminya dengan kecerdasan spiritual yang
didapatkan melalui iman yang diimplementasikan dengan taqwa. Setelah mampu
memaknai setiap kejadian maka kita akan selalu bersyukur kepada Allah dan
ketika kita bersyukur insya Allah bahagia itu akan dekat dengan kita, dalam
diri kita.
Oleh: IMMawan Muammar Rafsanjani
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot