Oleh:
IMMawan Muammar
Rafsanjani
PK FAI UMY
Terjebaknya Masyarakat Kedalam
Ruang Hiperealitas
Dewasa ini dalam arus globalisasi yang
sangat deras banyak sekali memberikan dampak yang begitu besar kepada
masyarakat, baik yang positif maupun. Apabila kita perhatikan dengan teliti, globalisasi
ini menghadirkan begitu banyak komoditas kepada masyarakat global. Banyaknya
komoditas ini kemudian menjadi sebuah hutan belantara komoditas yang
mengelilingi masyarakat secara global. Hal ini tentu tidak lepas dengan wacana
kapitalisme global yang menghadirkan berbagai macam komoditas tersebut kepada
masyarakat. Apapun dapat dijadikan komoditas, mulai dari tontonan, makanan,
pusat perbelanjaan, pusat hiburan, produk kecantikan dan sebagainya. Bahkan
sampai kepada hal yang tidak terduga, manusia dan agamapun dijadikan sebagai
sebuah komoditas yang diperjual-belikan. Sebagai contoh instagram @jrsugianto
(Tatan) atau acara-acara televisi di bulan Ramadhan.
Masyarakat yang dikelilingi hutan
belantara komoditas ini kemudian cendrung tidak lagi mencari realitas sejati
melainkan realitas yang semu. Atau lebih tepatnya masyarakat dewasa ini
terjebak kedalam sebuah ruang hiperealitas. Dimana pada ruang hiperealitas tersebut terjadi
transparansi sekat pemisah antara yang asli dan palsu, benar dan salah, nyata
dan fantasi. Sehingga masyarakat tidak mampu lagi untuk membedakan antara yang
asli dan palsu, benar dan salah, nyata dan fantasi.
Berbagai macam komoditas yang hadir
mencoba menawarkan kesenangan kepada masyarakat. Pertandingan sepak bola di
televisi misalnya, tontonan ini dapat membius jutaan masyarakat dalam skala
global. Atau produk industri seperti iphone, kendaraan dan teknologi lainnya
yang juga menawarkan kesenangan kepada masyarakat yang mampu memilikinya.
Hal-hal semacam ini hanya akan menenggelamkan masyarakat kedalam keadaan
ekstasi yang berupa kesenangan atau kebahagiaan semu. Masyarakat mencoba
mencari hiburan atau tontonan untuk sejenak melupakan hiruk-pikuk dunia yang
ditinggalinya dengan mencoba menonton pertandingan sepak bola di televisi,
namun kesenangan ini adalah kesenangan semu yang setidaknya hanya berlangsung
kurang lebih 2 jam. Masyarakat menginginkan produk-produk industri yang
dipasarkan melalui media massa yang sebenarnya bukan kebutuhannya, namun hanya
sebatas untuk memperoleh kesenangan. Namun, produk-produk ini di produksi
secara massif dalam kecepatan yang begitu cepat yang bahkan melampaui
batas-batas budaya. Yang terjadi adalah industri ini selalu menghadirkan versi
terbaru produk-produk sehingga masyarakat tidak pernah merasa puas dengan apa
yang dimilikinya.
Jean Baudrillard dalam wacana
simulasinya menjelaskan bahwasanya terdapat sebuah ruang realitas dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dalam ruang realitas tersebut terjadi dekonstruksi
representasi yang kemudian mencoba menkonstruksi sebuah realitas baru tanpa
asal usul realitas yang jelas dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita
analogikan pada sebuah peta, peta merupakan representasi dari sebuah wilayah
territorial yang berarti ada wilayah territorial dulu baru kemudian
direpresentasikan dengan peta. Namun, pada hiperealitas justru peta dulu baru
wilayah territorial. Dan fenomena yang terjadi hari ini, acara sinetron di
televisi justru lebih ampuh dalam membentuk karakter anak dibandingkan mata
pelajaran akhlak disekolah. Penggambaran tokoh pada film justru lebih ampuh
membentuk kepribadian seseorang dibandingkan filsafat.
Sebagaimana salah satu fungsi dari
komunikasi massa yaitu, influence. Maka
,menggunakan media massa dalam mendifusikan realitas semu ini cukup ampuh untuk
mempengaruhi khalayaknya agar terjebak kedalam ruang hiperealitas. Dalam
penyebarannya tersebut biasanya mengandung budaya bujuk rayu. Dalam budaya
bujuk rayu ini apapun dibenarkan, yang palsu dianggap asli, yang fantasi
dianggap nyata. Sebagaimana sebentuk wajah penuh make up, maka yang ditampilkan adalah sebuah wajah yang mencoba
menarik perhatian dan kepalsuan semata. Maka, dalam budaya bujuk rayu yang
ditampilkan adalah ketertarikan, kepalsuan dan kesemuan. Bukan lagi realitas
yang sejati. Dengan demikian, maka masyarakat yang terjebak kedalam ruang
hiperealitas ini tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati.
Untuk itu, maka sudah selayaknya kita
bersikap kritis terhadap apapun yang kita terima pada era globalisasi pada saat
ini. Perlu adanya filterisasi terhadap dampak dari globalisasi tersebut
sehingga kita mampu menyaring apa saja dampak positif yang dapat diambil dan dampak
negatif yang perlu untuk ditinggalkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot