A. Pendahuluan
Telah
banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia
sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan
lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang di bawa oleh
peradaban Barat saat ini. Seorang pemikir Islam abad ini,
Syed Muhammad
Naquib al-Attas berani mengatakan bahwa “tantangan terbesar yang muncul
secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan
sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke
seluruh dunia oleh peradaban Barat.
Hakikat ilmu telah menjadi
bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari
pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan
perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia bahkan
ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan. Ilmu yang di
sajikan dan disampaikan dengan topeng dilebur secara halus bersama-sama
dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara
keseluruhannya merupakan ilmu yang sebenarnya. Watak, kepribadian,
esensi, dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah
dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa semua yang menerima tafsiran
ilmu itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada kehancuran ?
‘Peradaban Barat’ yang Al- Attas maksudkan adalah peradaban yang
berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat,
nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran
Yahudi dan Kristen dan perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang
dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari
Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar
pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum,
ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen
diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin,
Germanik, Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan
nilai-nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan
teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah
mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan
banyak sumbangan yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang
ilmu dan di dalam menanamkan semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu
serta semangat rasional dan sains itu telah di susun kembali dan ditata
ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat, sehingga melebur
dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak serta
kepribadian peradaban Barat.
B. Hakikat Manusia
Manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat
(dual nature),
ia adalah jiwa dan raga, ia adalah suatu diri jasmani dan ruh sekaligus
yang tertera dalam QS. Al-Hijr: 29 dan QS. Al-Mu’minun: 12-14. Allah
SWT mengajarkan nama-nama
(al-asma’) tentang segala sesuatu
(QS. Al-Baqarah : 31). Dengan ‘nama-nama itu’ dapat disimpulkan bahwa yang di maksud adalah ilmu
(al-‘ilm) tentang segala sesuatu
(al-ashya’).
Tempat ilmu ini, baik
al’ilm maupun
ma’rifah, ada pada jiwa manusia
(al-nafs), hatinya
(al-qalb), dan akalnya
(al-‘aql). Oleh karena manusia mengetahui
(‘arafa)
Allah dengan mentauhidkannya sebagai tuhan sejati, maka ilmu tersebut
serta realitas keadaan yang terkait dengannya mempunyai kesan mengikat
manusia dalam suatu perjanjian yang menentukan dalam hidup, perilaku,
dan perbuatannya dalam hubungan antara dirinya dengan Allah SWT
(QS. Al-a’raf: 172).
‘Keterikatan’ dan ‘penentuan’ manusia dengan Tuhannya dalam suatu
perjanjian ini dalam hal tujuan hidup, perilaku dan perbuatannya ini
pada dasarnya merupakan keterikatan dan penentuan dalam bentuk agama
(din) dan penyerahan diri
(aslama) yang sejati. Maka,
din dan
aslama kedua-duanya berkait erat dalam hakikat manusia
(fitrah). Tujuan sejati manusia adalah untuk menjalankan
‘ibadah kepada Allah
(QS. Az-Zariyat: 56), dan kewajibannya adalah taat (ta’ah) kepada Allah SWT sesuai dengan hakikat dasar
(fitrah) yang telah di ciptakan Allah baginya
(QS. Ar-rum: 30). Tetapi di samping itu manusia juga “bersifat alpa atau lupa
(nisyan)”. Manusia disebut
insan adalah
karena setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang menuntutnya
untuk mematuhi perintah dan larangan Allah, ia alpa (nasiya) memenuhi
kewajiban dan tujuan hidupnya itu (di riwayatkan dari Ibnu ‘Abbas),
“Sesungguhnya manusia disebut insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya)”, dengan
merujuk kepada (QS. Ta Ha: 115). Sifat alpa ini merupakan penyebab
keingkaran manusia, dan sifat tercela ini mengerahkannya kepada
ketidakadilan
(zulm) dan kejahilan
(jahl)(QS. Al-Ahzab:72).
Namun demikian, Allah SWT telah melengkapinya dengan daya pandangan dan
kefahaman yang benar dan kecenderungan menikmati kebenaran sejati serta
percakapannya dan komunikasi yang benar.
Selain itu Allah SWT
telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk membedakan yang benar dari
yang salah, atau kebenaran dari kepalsuan. Meskipun kecerdasan itu
mungkin membingungkannya, asalkan ia jujur dan setia terhadap hakikat
dirinya yang benar, maka Allah dengan segala karunia, belas kasih dan
rahmatNya, jika Ia menghendaki akan memberikan petunjukNya
(huda) untuk membantunya memperoleh kebenaran dan perilaku yang benar.
Untuk
menyimpulkan semua penjelasan di atas, maka dapat kita katakan sekarang
bahwa manusia secara keseluruhan adalah tempat(makan atau mahall) bagi
kemunculan din dan oleh karena itu ia seperti sebuah kota. Sejatinya
seorang manusia tak ubahnya dengan seorang penghuni kota di dalam
dirinya, penduduknya dari kerajaan dari miniaturnya sendiri.
C. Hakikat Ilmu
Secara umum dapat difahami bahwa ilmu tidak memerlukan pendefinisian
(hadd). Makna
yang terkandung dalam istilah ‘ilm secara alami dapat langsung
dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu. Karena ilmu
adalah salah satu sifat yang paling penting baginya. Apa arti ilmu telah
jelas baginya sehingga tidak diperlukan penjelasan yang menerangkan
sifat khususnya. Telah diterima bahwa ilmu dapat diklasifikasikan ke
dalam unsur-unsur yang utama, sehingga dasar pengklasifikasian, selama
yang berhubungan dengan manusia itu dapat bermanfaat. Semua ilmu datang
dari Allah SWT. Untuk tujuan pengklasifikasian yang sesuai dengan
tindakan kita, kita katakan bahwa dengan cara yang sama sebagaimana
manusia yang terdiri dari dwi hakikat yang memiliki dua jiwa, demikian
pula ilmu terbagi kepada dua jenis, yang satu adalah hidangan dan
kehidupan bagi jiwanya, dan yang lain adalah bekalan untuk melengkapkan
diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan- tujuan pragmatisnya.
Ilmu
jenis pertama diberikan oleh Allah melalui wahyuNya kepada manusia, dan
ini merujuk kepada Kitab Suci al-Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu yang
lengkap dan terakhir, sehingga ia sudah mencakupi sebagai bimbingan dn
keselamatan manusia, dan tidak ada ilmu selainnya, kecuali yang
didasarkan atasnya dan yang merujuk kepadanya, yang dapat membimbing dan
menyelamatkan manusia.
Di sini kita akan membicarakan ilmu pada tingkat
ihsan,
yaitu ketika ibadah telah tercapai, atau dengan kata lain serupa dengan
ma’rifah. Karena ilmu tersebut pada akhirnya bergantung kepada Rahmat
Allah sebagai prasyarat memperolehnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa
untuk mendapatkan ilmu tersebut ilmu tentang dasar-dasar Islam
(islam-iman-ihsan), prinsip-prinsipnya
(arkan),
arti dan maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaannya yang benar dalam
kehidupan dan amalan sehari-hari. Setiap Muslim harus mempunyai ilmu
tentang persyarat itu, harus mengerti dasar-dasar islam dan Keesaan
Allah, Esensi-Nya, dan sifat-sifat-Nya
(tauhid), harus mempunyai
ilmu tentang Al-Qur’an. Nabi SAW, sunnah dan kehidupannya, serta
mengamalkan ilmu itu yang didasarkan pada amal dan pengabdian pada Allah
sehingga setiap Muslim sudah berada dalam peringkat awal ilmu tingkat
pertama tersebut, bahwa ia sudah siap sedia di atas jalan lurus yang
akan membimbingnya menuju Allah. Pencapaiannya dalam mengejar kebaikan
tertinggi
(ihsan) akan bergantung kepada ilmunya sendiri, kemampuan, kekuatan perenungan, pencapaian serta keikhlasan.
Jenis ilmu yang kedua merujuk kepada ilmu-ilmu sains
(‘ulum)
yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan, dan penelitian. Ilmu
jenis pertama diberikan oleh Allah kepada manusia melalui pengungkapan
langsung, sedangkan yang kedua melalui usaha penyelidikan rasional dan
didasarkan atas pengalamannya tentang segala sesuatu yang dapat di
tangkap pancaindra dan difahami oleh akal. Yang pertama merujuk kepada
ilmu tentang kebenaran objektif yang diperlukan untuk membimbing
manusia, sedangkan yang kedua merujuk kepada ilmu mengenai data yang
dapat di tangkap oleh pancaindra dan difahami akal yang dipelajari untuk
kegunaan dan pemahaman kita.
Dari sudut pandang manusia, dua
jenis ilmu itu harus di peroleh melalui perbuatan secara sadar(‘amal),
karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal yang lahir dari ilmu
tersebut, dan tidak ada amal yang bermakna tanpa ilmu. Ilmu yang jenis
pertama menyingkap misteri wujud dan eksistensi dan mengungkapkan
hubungan sejati antara diri manusia dan Tuhannya, dan oleh karena bagi
manusia ilmu tersebut terkait dengan tujuan utama manusia untuk
mengetahui, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu mengenai prasyarat ilmu
tersebut menjadi dasar dan asas utama untuk ilmu jenis kedua, karena
ilmu yang kedua itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu yang pertama, tidak
akan dapat menuntun manusia degan benar di dalam kehidupannya dan hanya
akan membingungkan, mengelirukan, dan menjerat manusia ke dalam kancah
pencarian yang tanpa akhir dan tujuan.
Kita juga melihat bahwa ada
batas bagi manusia terhadap ilmu jenis pertama dan tertinggi itu,
sementara tidak ada batas bagi ilmu jenis kedua, sehingga selalu wujud
kemungkinan pengembaraan tanpa henti yang didorong akibat penipuan
intelektual dan khayalan diri di dalam keraguan dan keingintahuan yang
berterusan.
Pembagian kewajiban mencari ilmu ke dalam dua kategori
ini merupakan suatu cara menerapkan keadilan terhadap ilmu dan bagi
orang yang mempelajarinya, karena
semua ilmu tentang prasyarat ilmu jenis pertama adalah baik untuk manusia, sedangkan
tidak semua
ilmu jenis kedua baik untuknya. Ini karena orang yang mempelajari ilmu
jenis kedua ini, yang dapat membawa pengaruh yang cukup besar dalam
peranan dan kedudukan sekularnya sebagai warga negara, belum tentu
merupakan seorang manusia
yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’
dalam Islam tidak hanya bermaksud ‘baik’ dalam pengertian social
seperti difahami orang pada umumnya, tetapi ia juga mesti pertama-tama
baik terhadap dirinya, tidak berlaku zalim(tidak adil) terhadap dirinya
sebagaimana yang telah diterangkan.
Sekiranya ia tidak dapat adil terhadap dirinya, bagaimana ia dapat benar-benar adil terhadap orang lain?
Jadi
kita melihat bahwa dalam islam: (a) ilmu merangkumi iman dan
kepercayaan serta (b) tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan
atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri pribadi, dan
bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia
sejati, sebagai penduduk dalam kota dirinya (self’s city), sebagai warga
negara dalam kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai ruh. Inilah yang
perlu ditekankan, manusia bukan sekedar suatu diri jasmani yang nilainya
di ukur dalam pengertian pragmatis yang melihat kegunaannya bagi
Negara, masyarakat, dan dunia.
Sebagai landasan dan filosofis bagi
tujuan dan maksud pendidikan, dan bagi pembinaan suatu ilmu teras yang
terpadu dalam system pendidikan, Al-Attas merasakan penting untuk
mengumpulkan kembali sifat utama pandangan islam tentang realitas.
Melihat bahwa pandangan Islam terhadap realitas itu terpusat pada wujud,
maka dari itu dengan cara yang sama wujud dalam islam dilihat dari
suatu hierarki dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dalam konteks
ini terlihat juga hubungan antara manusia dan alam semesta, kedudukannya
dalam urutan wujud dan gambaran analogisnya sebagai suatu mikrokosmos
yang mencerminkan suatu makrokosmos dan bukan sebaliknya. Ilmu juga di
susun secara hirarki, dan tugas kita pada masa ini adalah untuk merombak
system pendidikan yang kita ketahui dan dalam beberapa hal mengubahnya,
sehingga ia mencerminkan aturan disiplin di dalam system Islam.
D. Definisi dan Tujuan Pendidikan
Keadilan
sebagai suatu keadaan yang harmoni atau keadaan dimana segala sesuatu
berada pada tempatnya yang benar dan tepat, situasinya dalam hubungan
dengan yang lain dan keadaannya dalam hubungan dengan diri sendiri.
Kemudian disebutkan bahwa ilmu tentang ‘tempat yang benar’ bagi suatu
benda atau suatu wujud adalah suatu kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah
ilmu yang diberikan oleh Allah untuk memungkinkan orang yang berilmu
tersebut berada padanya untuk mengamalkannya sehingga ia (pengamalan dan
keputusan) menyebabkan lahirnya keadilan. Dengan demikian keadilan
adalah keadaan eksistensial dari kebijaksanaan yang terjelma di dalam
hal-hal yang diserap oleh pancaindra dan difahami akal serta didalam
alam spiritual yang berkaitan dengan jiwa manusia. Penjelmaan luaran
keadilan didalam kehidupan dan masyarakat itu tidak lain daripada
hadirnya adab di dalam kehidupan masyarakat. Pengertian adab pada
asalnya adalah undangan kepada suatu jamuan. Konsep jamuan ini membawa
makna bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan terhormat, dan
ramai orang yang hadir, sedangkan para hadirin adalah mereka yang dalam
penilaian tuan rumah patut mendapat penghormatan atas undangan itu. Oleh
karena itu mereka adalah orang budiman dan terhormat yang diharapkan
berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan, tingkah
laku dan etika yang penuh dengan kesopanan. Demikian pula halnya ilmu
harus di sanjung dan dinikmati serta di dekati dengan cara yang sama
sesuai dengan ketinggian yang dimilikinya. Dan inilah sebabnya Al-Attas
mengatakan bahwa analogi ilmu adalah
hidangan dan
kehidupan bagi jiwa itu. Berdasarkan pengertian ini maka
adab juga berarti
mendisiplinkan fikiran dan
jiwa. Ia merupakan perolehan
sifat-sifat dan
ciri-ciri yang
baik bagi
fikiran dan
jiwa. Ia juga
pelaksanaan perbuatan
benar dan
tepat sebagai lawan dari perbuatan yang salah dan keliru sehingga menjadi benteng yang
melindungi dari keaiban.
Analogi dari undangan ke suatu jamuan untuk ikut menikmati makanan
yang lezat, dan kepada ilmu untuk menjadi hidangan bagi akal dan jiwa,
dinyatakan secara jelas dan mendalam dalam suatu hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud ra.
اِنَّ هَذَا القُرْانُ مَأْدَبَةٌ اللَّهِ فِيْ اْلاَرْضِ فَتَعَلَّمُوْا مِن مَأَدَّبَتِهِ
“Sesungguhnya Kitab Suci Al-Qur’an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka belajarlah dengan sepenuhnya dari Jamuan-Nya”
Maka
kitab suci Al-Qur’an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di
bumi dan kita di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara
mengambil ilmu sejati darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah
’mengecap rasanya yang sejati’,
dan itulah sebabnya di katakan sebelum ini, dengan merujuk kepada
unsur-unsur utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan
kebijaksanaan spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung.
Pengalaman tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realitas dan
kebenaran sesuatu kepada penglihatan spiritualnya. Seseorang yang di
dalam dirinya tersimpan
adab mencerminkan
kebijaksanaan,
dan dalam kaitannya dengan masyarakat adab merupakan pengaturan susunan
yang adil di dalamnya. Maka adab adalah persembahan keadilan
sebagaimana di cerminkan oleh kebijaksanaan, dan ia adalah pengakuan
terhadap berbagai hirarki dalam susunan wujud, eksistensi, ilmu, dan
perbuatan yang sesuai dengan pengakuan itu. Sehingga tujuan mencari ilmu
dalam islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia
sebagai manusia dan diri pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan
dalam islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang
dimaksudkan dengan ‘baik’ dalam konsep kita tentang ‘manusia baik’ ?
Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan islam adalah
penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas meliputi
kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan sifat kebaikan
yang dicarinya. Pendidikan adalah tepat seperti yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
اَدَبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhanku telah mendidik (addaba) aku, dan menjadikan pendidikanku (ta’dib) yang terbaik.”
Pendidikan adalah menyerapkan dan menanamkan
adab pada manusia dan ia adalah
ta’dib. Jadi
adab
adalah apa yang mesti ada pada manusia jika ia ingin mengurus dirinya
dengan cemerlang dan baik dalam kehidupan ini dan hari akhirat.
E. Sistem Aturan dan Disiplin Islam
Sebelum
ini kita telah menyebut suatu sistem aturan dan disiplin dalam islam.
Islam adalah contoh terbaik dari aturan dan disiplin kosmos Illahi, dan
orang yang sadar akan takdirnya dalam islam mengetahui bahwa dengan
pengertian yang sama ia juga suatu aturan dan disiplin. Ia sendiri
bagaikan sebuah kota, sebuah kerajaan dalam bentuk miniatur, karena di
dalam dirinya seperti juga di dalam seluruh umat manusia. Manusia tahu
bahwa dirinya mengetahui, dan pengalaman dari pengetahuannya seperti itu
memberitahu dirinya bahwa ia adalah wujud dan eksistensi sekaligus,
suatu kesatuan tetapi juga keberagaman, ia senantiasa wujud tetapi pada
saat yang sama bersifat fana, pada suatu sisi ia tetap tetapi pada sisi
yang lain berubah. Kepribadiannya sejak kelahiran hingga kematiannya
sebagai suatu fenomena wujud tidaklah berubah sekalipun diri jasmaninya
selalu berubah dan akhirnya akan mengalami kemusnahan.
Hal ini
terkait dengan hakikat bahwa kepribadiannya merujuk kepada sesuatu yang
tetap dalam dirinya, jiwa akalinya. Seandainya bukan karena sifatnya
yang tetap ini, maka tidak mungkin bagi ilmu untuk berada dalam dirinya.
Karena hakikat kepribadiannya yang tetap, maka demikian pula pendidikan
dalam islam merupakan suatu proses yang terus-menerus sepanjang masa
hidupnya di bumi dan ia meliputi setiap aspek kehidupan ini. Dari sudut
pandang pemakaian linguistic, kita harus melihat bahwa hakikatnya
istilah ‘ilm telah digunakan dalam islam untuk merangkumi keseluruhan
kehidupan diantaranya spiritual, intelektual, keagamaan, kebudayaan,
perseorangan dan social, yang sifatnya adalah universal, dan bahwa ia
penting untuk menuntun manusia meraih keselamatannya.
Zaman paling
awal islam memulai system pendidikannya secara besar-besaran dengan
masjid sebagai pusatnya hingga sekarang ini, sehingga berkembang
lembaga-lembaga pendidikan seperti universitas-universitas, TPA,
sekolah, dll. Dan dalam ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu
pengabdian berkembanglah rumah sakit-rumah sakit, puskesmas,dll. Dan
perlu kita ketahui bahwa perguruan-perguruan tinggi Barat di bentuk
meniru model islam. Namun sekarang justru terbalik ciri-ciri umum dan
struktur universitas-universitas masa sekarang yang meniru betul-betul
model barat dan masih mengungkapkan secara jelas jejak asal islamnya.
Asal-usul nama institusi itu berasal dari bahasa Latin
universitatem yang dengan jelas mncerminkan konsep
kulliyyah
yang berasal dari islam pada mulanya. Tetapi universitas yang kemudian
dikembangkan di Barat dan di tiru hari ini di seluruh dunia tidak lagi
mencerminkan manusia. Ibarat manusia tanpa kepribadian, universitas
modern tidak mempunyai pusat yang sangat penting dan tetap, yang
menjelaskan tujuan akhirnya. Ia tetap menganggap dirinya memikirkan
hal-hal universal, bahkan menyatakan memiliki fakultas dan jurusan
sebagaimana layaknya tubuh suatu organ tetapi ia tidak memiliki otak,
jangankan akal dan jiwa, kecuali dalam suatu fungsi pengurusan murni
untuk pemeliharaan dan perkembangan jasmani.
F. Penutup dan Saran
Menilai
perumusan dan penyebaran ilmu dalam dunia Islam pada masa ini, kita
harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci daripada dunia barat
telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang
serius jika tidak ditangani. Tugas kita adalah pertama-tama mengasingkan
unsure-unsur itu termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan
dan peradaban itu.unsur-unsur dan konsep kunci ini kebanyakan terdapat
dalam cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial).
Meskipun begitu, harus pula dicatat ilmu-ilmu exact tetap harus di
lakukan karena penafsiran dan perumusan itu sebenarnya bagian dari
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini
tepatnya berarti bahwa setelah proses pengasingan itu, ilmu yang telah
terbebaskan itu kemudian diisi dengan unsure-unsur dan konsep-konsep
kunci islam. Karena sifat asasi unsure-unsur dan konsep kunci islam ini
merupakan sesuatu yang mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya islamisasi
akan mengisi ilmu itu dengan fungsi dan tujuannya menjadikannya ilmu
sejati. Proses ini tidak akan dapat berjalan dengan cara menerima ilmu
pengetahuan masa kini seadanya dan berharap dapat mengislamisasikannya
hanya dengan melakukan pencantuman maupun pemindahan yang tidak dapat
memberikan hasil yang di inginkan kalau tubuhnya itu telah dikuasai oleh
unsure-unsur asing dan telah rusak oleh penyakit. Unsure-unsur dan
penyakit asing itu pertama-tama harus di tarik ke luar dan di netralkan
sebelum tubuh ilmu itu dapat di bentuk kembali dalam wadah islam.
Tugas
penting kita berikutnya adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur
islam yang utama serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu
kandungan yang merangkumi ilmu teras untuk kemudian ditempatkan dalam
system pendidikan islam, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Ia di rancang dalam susunan berperingkat agar sesuai dengan tahap
masing-masing tingkat. Di samping itu juga dalam masa ini di perlukan
analisis yang sistematis dan pembetulan-pembetulan dalam usaha
penyempurnaan system hingga dirasa memuaskan. Jika tahap ini telah
tercapai system itu kemudian dapat di anjurkan kepada dunia islam secara
luas. Sedangkan tidak lanjut untuk system pendidikan tingkat yang lebih
rendah dapat di rencanakan dan di laksanakan setelah pola lembaga
pendidikan dapat disempurnakan.
Sumber:
- Al-Attas, Naquib, Syed Muhammad, Islam dan Sekularisme, Instintut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), ed.Bahasa Indonesia.th. 2010
Written by. Lutfi Kusuma Dewi (Pai Umy 2011)