IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Tampilkan postingan dengan label Artikel Kader. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Kader. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Mei 2016

Membangun Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Islam

Oleh : Immawan Muamamar Rafsanjani
(Kader IMM FAI UMY)


            Dewasa ini dalam arus globalisasi yang semakin deras dan tidak bisa dibendung semakin banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah kita temui. Dari berbagai hal-hal baru tersebut timbul berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Banyak disiplin ilmu tertentu yang mencoba menyelesaikan berbagai permasalahn-permasalahan tersebut. Sejatinya permasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan yang harus dicarikan jawabannya. Namun, disiplin-disiplin ilmu tertentu yang kemudian mencoba menjawab berbagai tantangan tersebut terksesan eksklusif dengan dirinya atau bahkan bersikap apiriori dengan disiplin ilmu lainnya. Seakan-akan hanya dengan teori-teorinya lah permasalahan yang dihadapi saat ini dapat terpecahkan. Hal inilah yang kemudian membangun budaya eksklusifitas dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga terjadilah pendikotomian berbagai disiplin ilmu. Idealnya berbagai disiplin ilmu tersebut saling bahu-membahu dalam menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi di era kontemporer ini. Idealnya tidak ada pertentangan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Justru ada integrasi dan interkoneksi antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Kalau kita lihat antara Islamic knowledge, Islamic thought, dan Islamic studies para penggemar dan pencinta studi keislaman tidak dapat melihat ketiga hal tersebut secara jelas dan gamblang sehingga menjadi suatu pandangan keagamaan Islam yang utuh.(Amin Abdullah:2008) Sehingga tidak ada kemampuan untuk dapat mempertemukan antara ketiga hal tersebut sehingga menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh dan berjalan berbarengan.
            Menurut Ian G. Barbour setidaknya terdapat empat pola hubungan antara agama, ilmu pengetahuan. Yaitu, konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Independensi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berdiri sendiri. Dialogis, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berkomunikasi. Integrasi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling menyatu dan berkaitan. Dalam hubungan konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan hanya mengakui kebenaran dirinya masing-masing dan menafikan yang lain. Dalam hubungan independensi antara agama dan ilmu pengetahuan saling mengakui kebenaran dari agama atau ilmu pengetahuan, namun tidak terjadi titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam hubungan dialogis antara agama dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan yang kemudian dapat didialogkan oleh para agamawan dan ilmuan yang memiliki kemungkinan untuk saling mendukung. Adapun pola hubungan keempat yaitu integrasi, dalam pola hubungan ini terjadi penggabungan antara agama dengan ilmu pengetahuan yang kemudian saling mengisi, terkait dan menguatkan satu sama lain. (Ian Barbour:2002)
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Barat, sempat terjadi konflik antara gereja(agama) dengan ilmu pengetahuan. Dimana adanya dogma dari gereja yang menutup nalar berfikir yang kemudian menyebabkan kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Barat. Setelah ilmu pengetahuan melepaskan diri dari kungkungan gereja, justru terjadi independensi antara gereja dan ilmu pengetahuan yang kemudian menyebabkan timbulnya sekularisme. Menurut Buya Hamka agama yang tulen tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebaliknya ilmu pengetahuan yang tulen tidak akan bertentangan dengan agama.(Buya Hamka:1983) Seharusnya antara agama, ilmu pengetahuan dan budaya membangun sebuah dialog satu sama lain. Sehingga dari ketiga hal ini dapat berjalan berbarengan dan tidak terjadi konflik satu sama lain yang kemudian dapat membangun integrasi dan interkoneksi.
            Dalam konteks Islam, khazanah pemikiran keilmuan dalam Islam telah memberikan dua macam metode analisis yaitu dengan ushul fiqh yang bersumber dari teks-teks Al-Qur’an dan teks-teks Hadist. Kemudian dengan metode falsafah yang menggunakan akal dan sains.(Amin Abdullah:2013) Namun, umat muslim masih cendrung menggunakan salah satu saja dibandingkan memadukan dua metode tersebut dalam mengeksplorasi ayat-ayat Al-Qur’an. Seharunya terjadi integrasi antara pola berfikir dengan menggunakan metode ushul fiqh dan falsafah yang memadukan antara agama dan sains. Dengan adanya perpaduan antara agama dan sains ini maka akan membangun integrasi dan interkoneksi paradigma keilmuan yang dewasa ini terdikotomi dan cendrung eksklusif dari setiap disiplin ilmu. Adapun antara disiplin ilmu yang terkait dengan keagamaan dan disiplin ilmu non-keagamaan, Amin Abdullah menggambarkan hubungan ilmu yang bersifat dialogis dan integratif yaitu, Semipermeable, Intersubjective Testability, dan Creative Imagination.(Amin Abdullah:2013)
Pertama, Semipermeable. Dalam konsep ini antara agama dan ilmu tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi. Secara metaforis menggambarkannya seperti “jaring laba-laba keilmuan”, dimana antar  berbagai disiplin ilmu tersebut saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. (Amin Abdullah:2013) Artinya, antara berbagai disiplin ilmu tersebut bersifat integratif-interkonektif yang memungkinkan terjadinya dialog, komunikasi dan diskusi antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya tanpa mengganggu identitas dan eksistensinya masing-masing. Tidak hanya mampu melakukan dialog internal, namun juga mampu melakukan dialog eksternal dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang kemudian mampu untuk membuka diri terhadap masukan-masukan dan kritik oleh disiplin ilmu yang lain. Karena sejatinya tidak ada pagar pembatas atau dikotomi keilmuan yang ketat. Batas-batas tersebut masih ada dan jelas, namun seperti yang dilukiskan Amin Abdullah seperti “jaring laba-laba keilmuan” tadi. Dalam jaring laba-laba terdapat rongga-rongga kecil yang dapat dilalui oleh angin, sama halnya dengan disiplin ilmu yang mampu dirembesi dan dimasuki oleh disiplin ilmu lain.
Kedua, Intersubjective Testability. Intersubjektif disini adalah mental keilmuan yang mampu dan dapat mendialogkan berbagai disiplin dengan cerdas antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks pada era kontemporer ini. Baik dalam dunia keagamaan, keilmuan maupun budaya. Intersubjective Testability tidak hanya mengacu pada agama atau suatu disiplin ilmu tertentu. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi saat ini yang terlalu naif apabila hanya diselesaikan dengan suatu disiplin ilmu tertentu saja. Kaloborasi antara berbagai disiplin ilmu serta kritik dan masukan dari satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya serta lina disiplin ilmu sangat diperlukan untuk menyelesaikan kompleksitas kehidupan saat ini. (Amin Abdullah:2013)
Ketiga, Creative Imagination. Meskipun logika berfikir deduktif dan induktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayangnya dalam uraian tersebut meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan tersebut dalam kerja ilmu pengetahuan. Logika mampu menguji teori, namun tidak mampu menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinil. (Amin Abdullah:2013) Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melepaskan sekatan-sekatan dari setiap disiplin ilmu. Dalam ilmu agama misalnya, aqidah, tauhid, hadist, dan sebagainya. Dibutuhkan keberanian untuk  mengaitkan, mendialogkan dari disiplin-disiplin ilmu tersebut dengan disiplin ilmu yang lainnya yang kemudian dapat di elaborasikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan saat ini. Apabila hanya terisolasi dalam disiplin ilmu tersebut saja, maka ilmu-ilmu agama tersebat akan kehilangan relevansinya dengan setiap perkembangan zaman yang semakin pesat saat ini.
Dengan demikian, pada era kontemporer dimana permasalahan yang dihadapkan kepada kita semakin kompleks tersebut dibutuhkan integrasi-interkoneksi disiplin ilmu yang kemudian mampu memecah ekslusifitas (dikotomi) dalam suatu disiplin ilmu tertentu saja. Karena sangat banyak dan terlalu naif apabila kita berpendapat berbagai permasalahan yang kita hadapi saat ini hanya dapat dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja. Maka, penting dari berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut kemudian mampu membuka diri dengan disiplin ilmu yang lainnya untuk menerima kritik, saran serta masukan dari disiplin ilmu lainnya. Yang kemudian hal tersebut mampu memperkaya khazanah keilmuan yang ada untuk kemudian berjalan bersama, bahu-membahu untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada. Hal itu tentunya tidak dapat dilakukan begitu saja. Diperlukan dialog, komunikasi dan diskusi lintas disiplin. Tidak hanya disiplin ilmu keagamaan, namun juga disiplin ilmu umum. Peran ilmuan pun juga dibutuhkan disini, karena dibutuhkan ilmuan cerdas yang mampu dan berani untuk mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut sehingga mampu membangun integrasi dan interkoneksi keilmuan.

Senin, 04 April 2016

PEMIMPIN NON MUSLIM

Oleh :  Yenni Sundari Lubis


Pemimpin merupakan orang yang membantu diri sendiri dan orang lain melakukan hal yang benar (do right things). Setiap pemimpin haruslah menjadi panutan yang baik untuk masyarakatnya. Pemimpin juga harus peduli dengan masyarakatnya dan berharap dengan adanya pemimpin masyarakat lebih aman nyaman dan tentram. 

Lalu bagaimana dengan seorang pemimpin non muslim?

Kita sebagai umat muslim sangat penting untuk mengetahui tentang bagaimana hukum memilih seorang pemimpin non muslim. Hukumnya seorang muslim memilih pemimpin yang non muslim itu hukumnya haram. 
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Q.S An-nisa ayat 144 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).”

Surah tersebut sudah sangat jelas untuk menjelaskan bahwasannya seorang muslim tidak boleh memilih seorang pemimpin non muslim. Maka dari itu tetaplah pilih seorang muslim menjadi pemimpin bagaimana pun dia, dia tetap saudara kita sesama muslim dan diharapkan menjadi yang terbaik.

Kamis, 03 Maret 2016

ATMOSFER KITA

Rosmania Robochatun 15 Mei 2015

Terik matahari yang tak mau mengalah memberi sengatan nyeri pada kulit, keringat deras mengalir keluar dari pori-pori kulit di tengah siang ini. Duduk aku di warung makan di pinggir jalan ring road dengan ketidaknyamanan karena panas yang semakin menjadi. Lewat seorang bapak-bapak menuntun sepedanya yang penuh dengan karung-karung terisi rongsokan. Hanya topi yang ia pakai untuk melindungi kepala, sepasang sendal sederhana untuk melindungi kakinya dari panas aspal pun tak ia punyai. Dengan rasa iba yang aku punya membuat aku merasa harus mendekati bapak pekerja keras ini. Alhasil, ia memang mencari nafkah untuk hidup anak dan istrinya dengan mencari rongsokan.


ATMOSFER KITA

Dalam menu kali ini mungkin akan sedikit saya sajikan tentang mahasiswa pergerakan tapi sedikit melakukan gerakan. Fahd Djibran dalam bukunya “Insomnia Amnesia” menyebutkan sejumlah nama pergerakan mapan seperti IRM, PMII, IMM, KAMMI, HMI, GMNI dan masih banyak lagi pergerakan mapan lain. Sejauh yang saya tahu, Muhammadiyah memiliki beberapa pergerakan mapan demi untuk mencapai tujuan terhadap misi dakwahnya. Tak jauh mencari salah satu pergerakan mapan itu dari kita, misalnya saja IMM kita. Tidak banyak juga yang saya tahu tentang sel-sel yang terdapat di dalam ikatan juang kita ini. Yang sedikit saya tahu hanyalah atmosfer dalam setiap partikel-partikel yang berkombinasi di dalamnya. Sebuah ikatan juang ini sebut saja atmosfer kita.
Pada DAD 2013 lalu, saya masih ingat adanya materi tentang sejarah IMM, yang kemudian pembahasan meluas pada musuh-musuh kita yang sebenarnya dalam ikatan juang ini yaitu kebodohan dan kemiskinan. Bentuk implementasi dari ikatan juang kita terhadap menangani masalah kebodohan adalah dengan adanya diskusi-diskusi yang dengan banyak inovasi dan refleksi. Pada kenyataanya juga lah diskusi-diskusi sebagai salah satu cara memerangi kebodohan itu telah terealisasi secara tersurat.
Namun terlepas dari hal itu mahasiswa seperti terlupa akan musuh yang senantiasa terus menggerogoti atmosfer kesejahteraan masyarakat yaitu kemiskinan. Apakah wujud tak lupa nya  kita adalah dengan mengabdikan rasa sosial mahasiswa pergerakan mapan melalui bakti– bakti sosial yang hanya diadakan setiap tiga atau empat kali dalam satu tahun? Atau malah kurang dari itu frekuensi wujud bakti kita pada masyarakat? Mungkin kita yang masih bergelar mahasiswa ini masih lupa apa dan harus bagaimana membawa pulang kembali kesejahteraan masyarakat ke dalam ruang-ruang yang nyata dan bisa diraba dampaknya. Mahasiswa masih tertalu banyak mendominasi ruang-ruang diskusi yang terefleksi di ruang-ruang nyata namun sama sekali tidak habitus.
Mahasiswa pergerakan yang masih merasa nyaman.  Masih merasa nyaman dan tak merasakan akan ada bahaya yang hampir-hampir menerjang. Itulah kita dalam posisi yang semakin membuat terlena pada arus sungai apatis yang deras alirannya. Seandainya saja mahasiswa hidup dalam ketertindasan, tidak akan ada lagi mahasiswa yang hanya pandai berdebat dan  berwacana tanpa memiliki bentuk karya yang jelas dan bermanfaat (misalnya tulisan, menyumbangkan waktu dan tenaganya dan lain-lain).  Posisi nyaman ini yang seharusnya bisa membuat mahasiswa nyaman dalam bergerak memerangi kebodohan dan kemiskinan, malah justru menjadi angin yang sepoi-sepoi seperti sedang mengantarkan kita tertidur dengan nyenyak dan bermimpi indah berjalan ditepi pantai yang landai.
Musuh utama kita kian lama kian berdendang dan bersenandung riang tanpa adanya perlawanan dari kita yang mana menyandang mahasiswa pergerakan yang hanya selesai pada bangku diskusi dan perdebatan kritis mengenai persoalan yang dianggap lebih penting. Dan memunculkan sebuah pertanyaan. Pernahkah kita benar-benar memikirkan mereka yang membusung dan lapar? Dan merelakan darah juang kita menetes ke tanah air tempat kita berbakti? Apakah itu hanya sebatas syair nyanyian semata? Musuh yang tengah menjelma semakin parah pun nampaknya tak cukup menjadi cambuk bagi kita. Lalu cambuk seperti apa yang kiranya serangkai dengan niat perjuangan kita?
Mungkin ketertekanan bisa menjadi cambuk bagi kita dalam berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan sebagai musuh kita. Atau bahkan bisa sebagai bahan bakar mengobarkan semangat juang agar darah juang tak hanya sekedar nyanyian pengantar tidur panjang. Sekali lagi, ketertekanan. Iya ketertekanan. Mungkin tekanan yang ada bukanlah seperti gejolak di Palestina atau di Yaman. Tapi analisis awam sudah mendapatkan nilai dominan. Bahwa ketika hidup dalam ketertindasan itu biasan membuat kita semakin kuat dalam bertekad. Sebut saja pasukan HAMAS melawan Israel, mereka tidak akan ditakuti oleh tentara Israel jika mereka tidak lebih kuat dari tentara Israel. Hipotesisinya adalah kekuatan mereka ada karena adanya dorongan kuat pula melawan mereka yang menindas dengan tekanan-tekanan yang luar biasa.
Tapi kita tak perlu menjadi seperti pasukan HAMAS. Hanya saja mari sama-sama kita pahami, bahwa posisi nyaman kita tak selamanya membawa kita pada keselamatan dan hakikat kebahagiaan atas amanah yang kita punya, tetapi posisi sebagai pergerakan mapan ini bisa jadi bumerang bagi kita karena merasa nyaman sampai tak sadar ada kantung-kantung amanah di atas pundak kita. Tersenyumlah kawan jika sedikit kita mampu  melawan musuh kita seandainya kita dalam ketertekanan pasti kita bisa berbuat lebih dalam perjuangan ini. Tak hanya bersandar pada ruang diskusi yang terlalu matang karena terlalu sering dilakukan. Tak hanya berwacana dan bernyanyi lagu darah juang.tapi lakukan yang paling utama dari improvisasi yang biasa terjadi diantara atmosfer kita.

Kamis, 25 Februari 2016

UNTUK KITA RENUNGKAN WAHAI PEMUDA MUSLIM


Oleh : Bidang Dakwah IMM FAI


Amal Islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat kamu memiliki waktu luang semata, dan bisa kamu tinggalkan saat sibuk. Tidak, amal islami terlalu agung dan teramat mulia jika diperlakukan seperti itu. Perkara bergabung kepada agama ini tentu saja jauh lebih serius daripada yang seperti itu. Islam tidak seperti klub ilmiah, klub motor, klub pecinta alam atau klub-klub lainnya yang bisa ditinggalkan kapanpun kamu mau dan ketika membutuhkannya baru kamu kembali. Atau yang cukup dikerjakan hanya ketika kamu belum mendapatkan pekerjaan lalu ketika telat mendapatkan pekerjaan, lantas kamu tinggalkan amal-amal islami itu.

Perkara amal islami sama dengan perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, seorang muslim hanya boleh melepaskan diri dari amal islami seiring dengan perginya dia dari kehidupan ini. Bukankah Allah telah berfirman:
Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai kematian datang kepadamu!” ( Al-Hijr: 11 )

Al-Qur’an tidak mengatakan, “Beribadahlah kepada Rabbmu sampai kamu keluar dari sekolahan, pesantren atau perguruan tinggi atau saat menjadi kamu telah menjadi pegawai atau bos atau sampai kamu menikah dan seterusnya”. Tapi Al-Qur’an berkata: beribadahlah sampai malaikat maut mengambil nyawa ini dari jasad kita. Pertanyaan yang tentu saja harus timbul dalam diri kita masing-masing adalah bagaimanakah keadaan kita hari ini? Banyak kita saksikan hari ini para pemuda muslim yang meninggalkan amal islami dan beralih menuju amal-amal yang sia-sia.

Hari ini kita melihat banyak pemuda muslim yang tersebar dipenjuru dunia dan kita juga dapati ratusan pemuda muslim di satu kota! Meski jumlah mereka banyak, namun jika kita mencoba hitung jumlah pemuda yang aktif, yang bersungguh-sungguh, dan penuh semangat, sehingga pantas kita sebut sebagai aktivis islam, niscaya kita akan mendapati jumlah mereka tidak mencapai ratusan orang. Lalu kemana kerja, usaha, dan sumbangsih ribuan pemuda muslim hari ini? Kemanakah dakwah, hisbah, dan jihad mereka?

Kebanyakan dari kita, para pemuda muslim hari ini hanya mengambil peran sebagai penonton saja, tidak lebih. Kita merasa cukup setelah berislam, setelah itu kita berhenti pada titik ini, tidak ingin meningkatkan, tidak berhasrat untuk meningkatkan ketitik berikutnya, bahkan tidak hanya untuk sekedar menyiapkan diri sehingga kelak kita sanggup melangkah dan memberikan sumbangsih dalam berbagai bidang amal islami. Kita dapati pemuda muslim hari ini merasa cukup dengan hanya menjadi pendengar saja. Merasa cukup dengan menghadiri halaqah, pertemuan mukhtamar, membaca edaran, dan bulletin yang diterbitkan. Setelah itu cukup, atau menjadi seorang yang pasif tanpa sumbangsih.

Problem inilah yang membuat tak tergalinya berbagai potensi daro pemuda. Potensi yang semestinya tampak nyata di semua bidang amal islami: dakwah, hisbah, dan jihad. Yang dikehendaki Islam adalah sebagian besar waktumu, hampir seluruh hartamu, serta seluruh umurmu. Islam menghendaki keseluruhan dari dirimu. Tidaklah kita melihat para sahabat yang telah mengorbankan apapun untuk islam. Coba bandingkan sumbangsih para sahabat terdahulu dengan realitas kita hari ini. Kita banyak dapati orang-orang islam kaya hari ini, namun kita kesulitan untuk mendapati seseorang yang menanggung seluruh atau setengah hartanya untuk dakwah.


Sebuah syair yang amat dalam maknanya:

Di jalan Allah kami tegak berdiri
Mencitakan panji-panji menjulang tinggi
Bukan untuk golongan tertentu, semua amal kami
Bagi din ini, kami menjadi pejuang sejati
Sampai kemuliaan din ini kembali
Atau mengalir tetes-tetes darah kami


“ Sungguh akibat dari pengunduran diri adalah keburukan. Apalagi bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya. Bagi yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggelam dalam kebatilan”.


Jumat, 19 Februari 2016

“Perempuan: subyek atau obyek?”


Oleh: Immawati Bela Fataya Azmi

Sejak dahulu tema perempuan telah banyak dibicarakan. Kesetaraan gender, emansipasi wanita hingga feminisme selalu menjadi topik-topik yang menarik untuk dibahas. Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara gender, emansipasi dan feminisme, akan tetapi kesemuanya bertolak pada ketidakpuasan perempuan dalam memahami perannya.
Berangkat dari ketidakpuasan itu, bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang maju dan menyuarakan hak-hak tentang kesetaraan gender. Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh pahlawan perempuan seperti R. A Kartini, Dewi Sartika dan lain sebagainya. Emansipasi untuk menyuarakan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang penting dan untuk beberapa hal memang dibutuhkan, akan tetapi terkadang protes atas kesetaraan gender ini mengalami kebablasan, perempuan yang terlalu asyik untuk menunjukkan dirinya mulai lupa akan kewajiban dan fitrahnya yang utama. Dalam dunia Islam sendiri, kita “digemparkan” oleh pemikiran Fatima Mernissi tentang ayat-ayat missogininya, yaitu bahwa Islam mengekang hak-hak perempuan.
Terlepas dari perjalanan emansipasi perempuan serta pro-kontranya, salah satu hal penting yang dapat diambil kesimpulan, yaitu perempuan selalu menjadi subyek. Perempuan menjadi sosok yang memainkan peran untuk membela dirinya.
Namun, dewasa ini ketika kita dihadapkan pada kata “perempuan” yang kemudian tergambar dalam benak kita adalah sosok cantik, lembut, feminim atau mungkin juga “tukang dandan”. Jarang sekali muncul penggambaran perempuan adalah sosok tangguh, selalu berjalan di depan dan memimpin. Ketika melihat keadaan perempuan di zaman sekarang, peran perempuan tidak lagi sebagai subyek, akan tetapi telah berubah menjadi obyek semata.
Contoh paling nyata, yang seringkali terlepas dari pengamatan kita adalah produk-produk kapitalis yang secara tidak langsung mencekoki otak—terutama kaum hawa—untuk mengikuti pola pemikiran mereka. Mereka menciptakan standar-standar tertentu demi kepentingan ekonomi mereka yang kemudian oleh kita dibenarkan dan diikuti secara tidak sadar. Kecantikan misalnya, ketika dilontarkan pertanyaan “Perempuan cantik itu seperti apa?” jawaban yang muncul adalah sosok perempuan tinggi, berkulit putih serta memiliki rambut panjang dan lurus. Stereotip ini tidak lain muncul karena adanya iklan-iklan yang menggambarkan standar kecantikan seorang perempuan adalah berkulit putih, tinggi dan berambut panjang dan lurus. Dengan stereotip tersebut lantas kaum hawa kemudian akan disibukkan untuk memenuhi standar itu, sehingga tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk kembali menjadi subyek dan memainkan peran, tetapi semata-mata menjadi obyek atas kuasa kaum kapitalis.
Parahnya lagi, untuk memenuhi standar kecantikan semu tersebut, perempuan dengan rela harus merasakan sakit terlebih dahulu. Diet atau bahkan operasi plastik rela dilakukan hanya untuk tampil cantik versi media. Pada titik ini, perempuan tidak hanya kehilangan perannya dan menjadi obyek, tetapi secara tidak sadar perempuan telah menjadi korban atas standar-standar yang dibuat demi kepentingan-kepentingan tertentu tersebut.

Melihat perempuan yang dengan sendirinya kehilangan perannya, bukan lagi saatnya kita membahas berlembar-lembar hal mengenai kartini dan teman-temannya, bukan lagi saatnya kita melongo bingung dengan pemikiran Fatima Mernissi, tetapi sudah saatnya bagi kita melihat ke dalam diri kita dan mulai bertanya, sampai kapan kita akan terus menjadi obyek? Kapankah kita bergegas dan kembali menjadi subyek atas segala sesuatu?  



Referensi:
Stefani, Ketty. 2009. Pdf: Kritik Ekofeminisme. Jakarta: UI
Goenawan, Felicia. 2007. Jurnal Ilmiah: Ekonomi Politik Iklan di Indonesia terhadap Konsep Kecantikan. Volume I, Nomor 1.
Aprilia, Dwi Ratna. 2005. Pdf: Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan. Volume I, Nomor 2.
www.dakwatuna.com “Hakikat Penghormatan terhadap Wanita” dilihat tanggal 2 Juli 2015 Pkl. 23.02 WIB

Rabu, 11 November 2015

My name is red





Oleh : Immawati Rosmania Robichatun

            Manusia sebagai makhluk sosial terkadang tidak bisa memilih pilihannya sendiri, tetapi natural dan dibentuk oleh masyarakat dan lingkungan di mana dia tinggal. Seperti pola tingkah laku, gaya hidup, politik ekonomi, etnis di lingkungan yang menuntut manusia untuk menyesuaikan diri. Tidak ada seorang yang dapat mengingkari peranan yang menentukan dari masyarakat. Dan mau tidak mau kita harus menyinggung masalah intelektual karena intelektualitas ibarat representasi bagi pola tingkah laku, gaya hidup, politik, ekonomi dan masalah lain. Intelektual yang selama ini menggejala di dalam hati para mahasiswa pergerakan seolah hanya candu banalitas. Indikator yang menyebabkan keseolahan itu seyogyanya harus dikupas seperti ini.

            Pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas berhembus sepoi-sepoi ketelinga aktivis yang masih seumur jagung. Hal yang ditakutkan adalah ketakutan itu sendiri tentang terpuruknya semangat akibat angin sepoi yang masih segar. Ketakutan yang muncul cukuplah untuk menggambarkan tentang miskinnya pemahaman aktivis muda menganalisis teori kritik intelektual yang mem-banalitas. Miskinnya pemahaman itulah yang harus dibongkar secara kritis juga agar terwujud perubahan intelektual yang emansipatoris dan lebih baik.

            “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”. Bukan bermaksud menggiring opini ke zona aman dari refleksi kritis yang menggema di hati yang masuk dari kedua telinga. Tetapi harus bisa kita sadari bersama tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri pada ideologi kritis yang menjelma kedalam intektual yang katanya masih mem-banalitas. Tujuannya adalah menghapus stereotype terhadap semua aktivis pergerakan dari pandangan intelektual yang mem-banalitas. Inilah yang seharusnya menjadi inspirasi dari keprihatinan yang bergejolak di alam bawah sadar dan kemudian merealisasikan perubahan meskipun sekecil apapun sebagai pengabdian diri dalam perjuangan yang tengah dijalani. Selain tujuan di atas, hal ini juga dapat berupaya membalikan rumitnya pandangan kritis yang tujuannya mengajak pada perubahan. Refleksi kritis dari dalam maupun dari luar kemudian di seleksi mana kritikan yang matang dan layak diperhitungkan, kemudian bertindak emansipatoris untuk mencari solusi agar intektualitas bisa lebih berkualitas dari sebelumnya.

            Untuk mengadakan hal semacam itu tidaklah semudah mendiskusikannya. Tidak mudah karena berhubungan dengan banyak orang yang mana setiap orang memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dan cara berinteraksi yang berbeda. Ada kalanya kita menyadari satu hal yang sama-sama tidak sejalan dengan semua kader intern. Dimana hal itu dapat menyamakan persepsi dan interpretasi tentang refleksi kritikan. Sehingga setiap individu bisa memiliki kesadaran solidaritas yang kemudian outputnya adalah keberpihakan terhadap ikatan. Setelah adanya rasa keberpihakan dan kesadaran solidaritas yang kuat dari dalam diri dan hati tiap individu, barulah bangun upaya membalik pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas tersebut. Setelah upaya dan usaha tersebut harapannya dalam setiap individu bisa menemukan jati dirinya yang merah.

Selasa, 27 Oktober 2015

Pemuda Smartphone




Apa yang kalian ketahui tentang pemuda zaman perjuangan? Ya, mesti tak sedikit dari kalian yang menjawab: “Pemuda zaman perjuangan ya berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Apakah menurut kalian perjuangan hanya sebatas melawan penjajah asing ? TIDAK! Bung Karno pernah menyebutkan bahwa melawan penjajah dari bangsa lain bahkan lebih mudah, dibandingkan harus melawan musuh yang berasal dari seragam yang sama, darah yang sama. Itulah kita saat ini. Kita sudah tidak berperang melawan penjajah dari bangsa lain, berlari-lari karna dikejar peluru dari negara lain. Tapi saat ini kita berjuang melawan sistem yang dibangun oleh penguasa negeri sendiri, yang berasal dari tanah yang sama, bahasa yang sama, bahkan dengan darah mengalir yang sama.
Ah, tapi sepertinya pemuda saat ini tak kalah hebatnya dengan para pemuda pejuang saat itu. Kurang “hebat” apa lagi, mereka tetap tenang saat saudaranya harus menghisap asap tiap hari karna tak ada lagi oksigen yang dapat mereka hirup. Harus bersusah payah bernapas bahkan di negara yang menjadi paru-paru dunia. Bisakah kau bayangkan ketika negara yang menjadi paru-paru dunia saja susah bernapas, bagaimana dengan negara yang bertumpu pada negara ini? Itu hanya satu kasus yang ditulis dari puluhan kasus yang ada di Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh pemuda-pemuda saat ini? Mereka tetap tenang dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. (Bahkan mungkin ketika haknya tak terpenuhi pun mereka tetap bisa hidup dengan tenang). Miris sekali.
Entah diam karna tak tahu apa yang harus dilakukan, atau diam karna mereka terlalu tenang dengan hidup di zona amannya. Ya, kemungkinan besar mereka terlalu nyaman dengan dunianya saat ini. Meskipun bila ditelusuri, permasalahan-permasalahan yang muncul di negara saat ini tak jauh berbeda –bahkan mungkin lebih kompleks – dengan permasalahan yang muncul dan menuntut pemudanya terus berjuang sampai untuk memikirkan kapan dirinya tidur pun tak sempat.
            Bagiku pemuda saat ini dengan pemuda saat itu sama-sama menghadapi permasalahan yang sama rumitnya. Hanya saja saat ini mereka tak berani untuk berteriak (entah tak berani berteriak atau tak paham apa yang perlu diteriaki) sekedar mempertahankan suara hatinya. Berbeda dengan masa pemuda pejuang, yang begitu peka dengan apa yang sedang terjadi di bangsa ini.
Mungkin, yang menjadi alasan karena pemuda saat itu tidak mengenal apa itu Smartphone, sehingga kepekaannya terhadap lingkungan tak terhalang cahaya dari layar-layar lebarnya. Mungkin, kalau pemuda saat itu berjalan dengan perlahan karna melihat situasi yang ada di sekitar jalanan yang mereka lewati, tapi pemuda saat ini berjalan perlahan karna mereka takut menabrak benda dihadapannya. Kau tahu kenapa? Ya, karna pemuda saat ini terlalu sibuk dengan “gerakan menunduknya” seolah mereka menjadi seorang budak bagi ponsel yang dimilikinya. Tak salah, ketika perusahaan menamainya ‘ponsel pintar’, karna bahkan manusia pun bersedia tunduk dengannya berjam-jam, hingga tak tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya.

(Immawati Dwi Putri Suryandini)



Puisi "Pemuda Hari Ini"

Hampir seabad Indonesia merdeka
Namun hingga kini belum jua muncul kata jaya
Siapa salah?
Apa yang salah?

Tak sanggupkah Indonesia bangkit dengan rakyat terbanyaknya?
Belum mampukah Indonesia menggetarkan dunia?
Adakah para pemuda sudah puas dengan warisan ibu bapaknya?
Atau masih hanya bisa bangga memamerkan produk luar yang dipakainya?

Indonesia, bahkan dunia semakin tua
Dan pemuda hari ini semakin menggila dengan hedonisnya
Pada baku hantam karena uang pemberian bapaknya
Lalu, merekakah yang akan memimpin Indonesia?
Saat yang tua, yang selalu dibanggakan telah tiada
Pada siapa Indonesia tautkan nasibnya?

Wahai pemuda
Dimanakah akalmu?
Kau kemanakan hati nuranimu?

Bahkan ketika ada diskusi tentang negara ini kau tetap diam takzim
Kau tetap duduk menunduk menatap layar bercahaya
Kau hanya menatap aneh pada kita yang duduk melingkar
Tak ada satu langkah kakimu kudengar mendekat apalagi merapat

Lalu, bagaimana kau akan tahu keadaan bangsa ini?
Ketika kau masih sibuk dengan gadget barumu?

Kau yang digaungkan sebagai agent of change
Yang kelak menggantikan para pahlawan bangsa
Yang akan tetap mempertahankan kesatuan negeri ini
Ya, kau yang mungkin sedang sibuk dengan dunia mudamu.
Bukan lagi ayahmu, kakekmu, atau dosenmu itu.
Tapi kau yang saat ini sibuk dengan permainanmu
Kau yang mungkin bahkan tak ada rasa kepedulian terhadap Indonesiamu
Akankah mampu menggenggam Indonesia?

Entahlah

(Immawati Dwi Putri Suryandini)

IMM, bukan hanya untuk mereka yang turun ke jalan!

           Sebagai sebuah organisasi besar yang berada di Indonesia, Muhammadiyah memiliki beberapa organisasi otonom atau yang dikenal dengan ortom Muhammadiyah. Organisasi otonom yang berada di bawah naungan Muhammadiyah ini terbagi sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakatnya. Aisiyah misalnya, yang lebih fokus pada persoalan wanita dan anak-anak, walaupun dalam aktualisasinya, Aisiyah tidak melepaskan diri sebagai wadah dalam berdakwah amar ma’ruf nahi munkar. Contoh ortom Muhammadiyah lainnya yaitu IPM atau Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang berada ditingkat SMP atau SMA yang kegiatan atau aktivitasnya terfokus pada wilayah pelajar tersebut. Pun, sebagai wadah dakwah dan mengembangkan kader Muhammadiyah di tingkat mahasiswa, maka lahirlah organisasi otonom Muhammadiyah yang disebut Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau IMM.
IMM, sebagaimana tujuan awal dibentuknya yaitu “Mengusahakan terwujudnya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.” adalah sebagai media dakwah sekaligus juga pengkaderan anak-anak muda Muhammadiyah. Berada ditingkat mahasiswa, tak pelak IMM dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar-nya juga melakukan aktivitas-aktivitas yang lekat dengan dunia mahasiswa, seperti turun ke jalan atau demo dalam rangka menyalurkan aspirasi dan menyerukan ketidakadilan yang dirasa rakyat.
Demo atau turun ke jalan untuk menyalurkan aspirasi, pendapat atau kekecewaan atas kebijakan penguasa, bagi IMM bukanlah sekedar huru hara atau tindakan demi meraih eksistensi atau sekedar ‘ingin dilihat’. Dan ketika IMM diasumsikan sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang kerjanya hanya turun ke jalan, hal tersebut kurang tepat. Sebenarnya, lebih jauh dari itu, IMM menganggap demo (yang dilakukan secara benar dan dengan tujuan yang jelas dan benar) sebagai salah satu usaha dakwah itu sendiri. Karena pada hakikatnya, dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan kebenaran. Meski dengan media dan cara yang berbeda, ketika tujuan yang ingin dicapai adalah kemaslahatan umat tentunya itu adalah sebuah bentuk usaha dakwah.
Selain itu, meski ‘asyik’ dengan dakwah turun ke jalannya, IMM juga tidak melupakan usaha-usaha dakwah lainnya, seperti mengadakan kajian-kajian yang disesuaikan dengan minat mahasiswa, kegiatan bakti sosial, safari qurban dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu semata-mata ditujukan untuk kemaslahatan umat dan mencari ridho Allah. Mari, bersama IMM kita berjuang bersama, berlomba-lomba dalam kebaikan karena sesuai dengan jargon yang selama ini diusungnya, IMM masih dan akan selalu berusaha melakukan kebaikan di manapun berada, dan perjuangan kami tak ada artinya tanpa kalian, para kader muda Muhammadiyah! Billahi fii sabilil haq, Fastabiqul Khairat!*

*bersama Allah di jalan kebenaran, berlomba-lombalah dalam kebaikan!


Oleh : Immawati Bela Fataya Azmi, KKI, 2013

Senin, 22 April 2013

ETIKA DALAM FORUM


Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos, sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatarbelakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

Tags

Artikel Kader (34) Politik (17) Pemikiran (6) Filsafat (5) Motivasi (5) Muhammadiyah (5) Imm Fai (4) Agama (3) pendidikan (3) Leadersip (2) Umum (2) Media (1) Sosial Budaya (1)