Oleh : Immawan Muamamar Rafsanjani
(Kader IMM FAI UMY)
Dewasa ini dalam
arus globalisasi yang semakin deras dan tidak bisa dibendung semakin banyak
hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah kita temui. Dari berbagai hal-hal
baru tersebut timbul berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Banyak
disiplin ilmu tertentu yang mencoba menyelesaikan berbagai
permasalahn-permasalahan tersebut. Sejatinya permasalahan tersebut menjadi
sebuah tantangan yang harus dicarikan jawabannya. Namun, disiplin-disiplin ilmu
tertentu yang kemudian mencoba menjawab berbagai tantangan tersebut terksesan
eksklusif dengan dirinya atau bahkan bersikap apiriori dengan disiplin ilmu
lainnya. Seakan-akan hanya dengan teori-teorinya lah permasalahan yang dihadapi
saat ini dapat terpecahkan. Hal inilah yang kemudian membangun budaya eksklusifitas
dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga terjadilah pendikotomian berbagai
disiplin ilmu. Idealnya berbagai disiplin ilmu tersebut saling bahu-membahu
dalam menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi di era kontemporer ini. Idealnya
tidak ada pertentangan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya.
Justru ada integrasi dan interkoneksi antara disiplin ilmu yang satu dengan
yang lainnya. Kalau kita lihat antara Islamic knowledge, Islamic thought, dan
Islamic studies para penggemar dan pencinta studi keislaman tidak dapat
melihat ketiga hal tersebut secara jelas dan gamblang sehingga menjadi suatu
pandangan keagamaan Islam yang utuh.(Amin Abdullah:2008) Sehingga tidak ada
kemampuan untuk dapat mempertemukan antara ketiga hal tersebut sehingga menjadi
sebuah satu kesatuan yang utuh dan berjalan berbarengan.
Menurut Ian G. Barbour setidaknya terdapat empat pola hubungan antara agama, ilmu pengetahuan.
Yaitu, konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling bertentangan.
Independensi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berdiri sendiri.
Dialogis, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berkomunikasi. Integrasi,
antara agama dengan ilmu pengetahuan saling menyatu dan berkaitan. Dalam
hubungan konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan hanya mengakui kebenaran
dirinya masing-masing dan menafikan yang lain. Dalam hubungan independensi
antara agama dan ilmu pengetahuan saling mengakui kebenaran dari agama atau
ilmu pengetahuan, namun tidak terjadi titik temu antara agama dan ilmu
pengetahuan tersebut. Dalam hubungan dialogis antara agama dan ilmu pengetahuan
memiliki kesamaan yang kemudian dapat didialogkan oleh para agamawan dan ilmuan
yang memiliki kemungkinan untuk saling mendukung. Adapun pola hubungan keempat
yaitu integrasi, dalam pola hubungan ini terjadi penggabungan antara agama
dengan ilmu pengetahuan yang kemudian saling mengisi, terkait dan menguatkan
satu sama lain. (Ian Barbour:2002)
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Barat, sempat terjadi konflik antara
gereja(agama) dengan ilmu pengetahuan. Dimana adanya dogma dari gereja yang
menutup nalar berfikir yang kemudian menyebabkan kemunduran ilmu pengetahuan di
dunia Barat. Setelah ilmu pengetahuan melepaskan diri dari kungkungan gereja,
justru terjadi independensi antara gereja dan ilmu pengetahuan yang kemudian
menyebabkan timbulnya sekularisme. Menurut Buya Hamka agama yang tulen tidak
bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebaliknya ilmu pengetahuan yang tulen
tidak akan bertentangan dengan agama.(Buya Hamka:1983) Seharusnya antara agama,
ilmu pengetahuan dan budaya membangun sebuah dialog satu sama lain. Sehingga
dari ketiga hal ini dapat berjalan berbarengan dan tidak terjadi konflik satu
sama lain yang kemudian dapat membangun integrasi dan interkoneksi.
Dalam konteks
Islam, khazanah pemikiran keilmuan dalam Islam telah memberikan dua macam
metode analisis yaitu dengan ushul fiqh yang bersumber dari teks-teks
Al-Qur’an dan teks-teks Hadist. Kemudian dengan metode falsafah yang
menggunakan akal dan sains.(Amin Abdullah:2013) Namun, umat muslim masih
cendrung menggunakan salah satu saja dibandingkan memadukan dua metode tersebut
dalam mengeksplorasi ayat-ayat Al-Qur’an. Seharunya terjadi integrasi antara
pola berfikir dengan menggunakan metode ushul fiqh dan falsafah yang
memadukan antara agama dan sains. Dengan adanya perpaduan antara agama dan
sains ini maka akan membangun integrasi dan interkoneksi paradigma keilmuan
yang dewasa ini terdikotomi dan cendrung eksklusif dari setiap disiplin ilmu. Adapun
antara disiplin ilmu yang terkait dengan keagamaan dan disiplin ilmu
non-keagamaan, Amin Abdullah menggambarkan hubungan ilmu yang bersifat dialogis
dan integratif yaitu, Semipermeable, Intersubjective Testability, dan Creative
Imagination.(Amin Abdullah:2013)
Pertama, Semipermeable. Dalam konsep ini antara agama dan
ilmu tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk
melakukan komunikasi. Secara metaforis menggambarkannya seperti “jaring
laba-laba keilmuan”, dimana antar
berbagai disiplin ilmu tersebut saling berhubungan dan berinteraksi
secara aktif-dinamis. (Amin Abdullah:2013) Artinya, antara berbagai disiplin
ilmu tersebut bersifat integratif-interkonektif yang memungkinkan terjadinya
dialog, komunikasi dan diskusi antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu
lainnya tanpa mengganggu identitas dan eksistensinya masing-masing. Tidak hanya
mampu melakukan dialog internal, namun juga mampu melakukan dialog eksternal
dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang kemudian mampu untuk membuka diri
terhadap masukan-masukan dan kritik oleh disiplin ilmu yang lain. Karena
sejatinya tidak ada pagar pembatas atau dikotomi keilmuan yang ketat.
Batas-batas tersebut masih ada dan jelas, namun seperti yang dilukiskan Amin
Abdullah seperti “jaring laba-laba keilmuan” tadi. Dalam jaring laba-laba
terdapat rongga-rongga kecil yang dapat dilalui oleh angin, sama halnya dengan
disiplin ilmu yang mampu dirembesi dan dimasuki oleh disiplin ilmu lain.
Kedua, Intersubjective Testability. Intersubjektif disini
adalah mental keilmuan yang mampu dan dapat mendialogkan berbagai disiplin
dengan cerdas antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam diri seorang
ilmuan dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks pada era kontemporer
ini. Baik dalam dunia keagamaan, keilmuan maupun budaya. Intersubjective
Testability tidak hanya mengacu pada agama atau suatu disiplin ilmu
tertentu. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi saat ini yang terlalu
naif apabila hanya diselesaikan dengan suatu disiplin ilmu tertentu saja.
Kaloborasi antara berbagai disiplin ilmu serta kritik dan masukan dari satu
disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya serta lina disiplin ilmu sangat
diperlukan untuk menyelesaikan kompleksitas kehidupan saat ini. (Amin
Abdullah:2013)
Ketiga, Creative Imagination. Meskipun logika berfikir
deduktif dan induktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu
dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayangnya dalam uraian tersebut
meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan tersebut dalam kerja ilmu
pengetahuan. Logika mampu menguji teori, namun tidak mampu menciptakan teori.
Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinil. (Amin
Abdullah:2013) Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melepaskan
sekatan-sekatan dari setiap disiplin ilmu. Dalam ilmu agama misalnya, aqidah,
tauhid, hadist, dan sebagainya. Dibutuhkan keberanian untuk mengaitkan, mendialogkan dari
disiplin-disiplin ilmu tersebut dengan disiplin ilmu yang lainnya yang kemudian
dapat di elaborasikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan saat ini. Apabila
hanya terisolasi dalam disiplin ilmu tersebut saja, maka ilmu-ilmu agama
tersebat akan kehilangan relevansinya dengan setiap perkembangan zaman yang
semakin pesat saat ini.
Dengan demikian, pada era kontemporer dimana permasalahan yang
dihadapkan kepada kita semakin kompleks tersebut dibutuhkan
integrasi-interkoneksi disiplin ilmu yang kemudian mampu memecah ekslusifitas
(dikotomi) dalam suatu disiplin ilmu tertentu saja. Karena sangat banyak dan
terlalu naif apabila kita berpendapat berbagai permasalahan yang kita hadapi
saat ini hanya dapat dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja. Maka, penting
dari berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut kemudian mampu membuka diri
dengan disiplin ilmu yang lainnya untuk menerima kritik, saran serta masukan
dari disiplin ilmu lainnya. Yang kemudian hal tersebut mampu memperkaya
khazanah keilmuan yang ada untuk kemudian berjalan bersama, bahu-membahu untuk
memecahkan berbagai permasalahan yang ada. Hal itu tentunya tidak dapat
dilakukan begitu saja. Diperlukan dialog, komunikasi dan diskusi lintas
disiplin. Tidak hanya disiplin ilmu keagamaan, namun juga disiplin ilmu umum.
Peran ilmuan pun juga dibutuhkan disini, karena dibutuhkan ilmuan cerdas yang
mampu dan berani untuk mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut
sehingga mampu membangun integrasi dan interkoneksi keilmuan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot