Rabu, 11 November 2015

My name is red





Oleh : Immawati Rosmania Robichatun

            Manusia sebagai makhluk sosial terkadang tidak bisa memilih pilihannya sendiri, tetapi natural dan dibentuk oleh masyarakat dan lingkungan di mana dia tinggal. Seperti pola tingkah laku, gaya hidup, politik ekonomi, etnis di lingkungan yang menuntut manusia untuk menyesuaikan diri. Tidak ada seorang yang dapat mengingkari peranan yang menentukan dari masyarakat. Dan mau tidak mau kita harus menyinggung masalah intelektual karena intelektualitas ibarat representasi bagi pola tingkah laku, gaya hidup, politik, ekonomi dan masalah lain. Intelektual yang selama ini menggejala di dalam hati para mahasiswa pergerakan seolah hanya candu banalitas. Indikator yang menyebabkan keseolahan itu seyogyanya harus dikupas seperti ini.

            Pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas berhembus sepoi-sepoi ketelinga aktivis yang masih seumur jagung. Hal yang ditakutkan adalah ketakutan itu sendiri tentang terpuruknya semangat akibat angin sepoi yang masih segar. Ketakutan yang muncul cukuplah untuk menggambarkan tentang miskinnya pemahaman aktivis muda menganalisis teori kritik intelektual yang mem-banalitas. Miskinnya pemahaman itulah yang harus dibongkar secara kritis juga agar terwujud perubahan intelektual yang emansipatoris dan lebih baik.

            “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”. Bukan bermaksud menggiring opini ke zona aman dari refleksi kritis yang menggema di hati yang masuk dari kedua telinga. Tetapi harus bisa kita sadari bersama tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri pada ideologi kritis yang menjelma kedalam intektual yang katanya masih mem-banalitas. Tujuannya adalah menghapus stereotype terhadap semua aktivis pergerakan dari pandangan intelektual yang mem-banalitas. Inilah yang seharusnya menjadi inspirasi dari keprihatinan yang bergejolak di alam bawah sadar dan kemudian merealisasikan perubahan meskipun sekecil apapun sebagai pengabdian diri dalam perjuangan yang tengah dijalani. Selain tujuan di atas, hal ini juga dapat berupaya membalikan rumitnya pandangan kritis yang tujuannya mengajak pada perubahan. Refleksi kritis dari dalam maupun dari luar kemudian di seleksi mana kritikan yang matang dan layak diperhitungkan, kemudian bertindak emansipatoris untuk mencari solusi agar intektualitas bisa lebih berkualitas dari sebelumnya.

            Untuk mengadakan hal semacam itu tidaklah semudah mendiskusikannya. Tidak mudah karena berhubungan dengan banyak orang yang mana setiap orang memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dan cara berinteraksi yang berbeda. Ada kalanya kita menyadari satu hal yang sama-sama tidak sejalan dengan semua kader intern. Dimana hal itu dapat menyamakan persepsi dan interpretasi tentang refleksi kritikan. Sehingga setiap individu bisa memiliki kesadaran solidaritas yang kemudian outputnya adalah keberpihakan terhadap ikatan. Setelah adanya rasa keberpihakan dan kesadaran solidaritas yang kuat dari dalam diri dan hati tiap individu, barulah bangun upaya membalik pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas tersebut. Setelah upaya dan usaha tersebut harapannya dalam setiap individu bisa menemukan jati dirinya yang merah.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot