Oleh : Immawati Rosmania Robichatun
Manusia
sebagai makhluk sosial terkadang tidak bisa memilih pilihannya sendiri, tetapi
natural dan dibentuk oleh masyarakat dan lingkungan di
mana dia tinggal. Seperti pola tingkah laku, gaya hidup, politik ekonomi, etnis
di lingkungan yang menuntut manusia untuk menyesuaikan
diri. Tidak ada seorang yang dapat mengingkari peranan yang menentukan dari
masyarakat. Dan mau tidak mau kita harus menyinggung masalah intelektual karena
intelektualitas ibarat representasi bagi pola tingkah laku, gaya hidup, politik,
ekonomi dan masalah lain. Intelektual yang selama ini menggejala di dalam hati
para mahasiswa pergerakan seolah hanya candu banalitas. Indikator yang
menyebabkan keseolahan itu seyogyanya harus dikupas seperti ini.
Pandangan
tentang intelektual yang mem-banalitas berhembus sepoi-sepoi ketelinga aktivis
yang masih seumur jagung. Hal yang ditakutkan adalah ketakutan itu sendiri tentang
terpuruknya semangat akibat angin sepoi yang masih segar. Ketakutan yang muncul
cukuplah untuk menggambarkan tentang miskinnya pemahaman aktivis muda
menganalisis teori kritik intelektual yang mem-banalitas. Miskinnya pemahaman
itulah yang harus dibongkar secara kritis juga agar terwujud perubahan
intelektual yang emansipatoris dan lebih baik.
“Semut
di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”. Bukan bermaksud menggiring opini ke zona aman dari refleksi
kritis yang menggema di hati yang masuk dari kedua telinga. Tetapi harus bisa
kita sadari bersama tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri pada ideologi
kritis yang menjelma kedalam intektual yang katanya masih mem-banalitas.
Tujuannya adalah menghapus stereotype terhadap semua aktivis pergerakan
dari pandangan intelektual yang mem-banalitas. Inilah yang seharusnya
menjadi inspirasi dari keprihatinan yang bergejolak di alam bawah sadar dan
kemudian merealisasikan perubahan meskipun sekecil apapun sebagai pengabdian
diri dalam perjuangan yang tengah dijalani. Selain tujuan di atas, hal ini juga
dapat berupaya membalikan rumitnya pandangan kritis yang tujuannya mengajak
pada perubahan. Refleksi kritis dari dalam maupun dari luar kemudian di seleksi
mana kritikan yang matang dan layak diperhitungkan, kemudian bertindak
emansipatoris untuk mencari solusi agar intektualitas bisa lebih berkualitas
dari sebelumnya.
Untuk
mengadakan hal semacam itu tidaklah semudah mendiskusikannya. Tidak mudah
karena berhubungan dengan banyak orang yang mana setiap orang memiliki persepsi
dan cara pandang yang berbeda dan cara berinteraksi yang berbeda. Ada kalanya
kita menyadari satu hal yang sama-sama tidak sejalan dengan semua kader intern.
Dimana hal itu dapat menyamakan persepsi dan interpretasi tentang refleksi
kritikan. Sehingga setiap individu bisa memiliki kesadaran solidaritas yang kemudian
outputnya adalah keberpihakan terhadap ikatan. Setelah adanya rasa keberpihakan
dan kesadaran solidaritas yang kuat dari dalam diri dan hati tiap individu,
barulah bangun upaya membalik pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas
tersebut. Setelah upaya dan usaha tersebut harapannya dalam setiap individu
bisa menemukan jati dirinya yang merah.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot