oleh: IMMawan Muammar Rafsanjani
Quo vadis,
domine?[1]
Pertanyaan ini muncul dari sebuah cerita seorang yang bernama Santo Petrus yang
bertemu dengan Yesus ketika melarikan diri dari Roma. Kemudian Santo Petrus ini
bertanya kepada Yesus “Quo vadis,
Domine?” dan kemudian dijawablah oleh Yesus “Romam vado iterum crufigi”[2].
Setelah berakhir percakapan tersebut maka kembalilah Santo Petrus ke Roma dan
kemudian disalib hingga akhirnya dia menjadi martir disana.
***
Dewasa
ini di Indonesia ada kelompok-kelompok Islam yang anti-demokrasi atau bisa kita
sebut dengan kelompok Islam fundamentalisme. Dengan berorientasi pada
negara-negara Arab, kelompok-kelompok Islam fundamentalisme ini menjadikan
agama menjadi sebuah preferensi dalam negara. Preferensi disini dalam artian good life menurut rakyatnya. Padahal
kalau kita lihat keadaan negara Indonesia disini multi cultur, multi etnic, multi religion dan menjadikan agama
sebagai sebuah preferensi dalam negara hanya akan menjadi skandal bagi
pluralisme yang ada di Indonesia. Demokrasi disinipun juga bisa menjadi
keuntungan bagi muslim dengan suara muslim yang mendominasi Indonesia untuk
mewujudkan negara Islam yang diinginkan tanpa mencederai pluralisme yang ada di
Indonesia. Kalau kita melihat negara-negara yang ada di Arab, telah terjadi
perdebatan yang panjang terkait demokrasi ini, yaitu sekitar 150 tahun lamanya.
Dengan alasan demokrasi adalah sebuah sistem yang berasal dari Barat maka
mereka mengklaim kafir bagi para penganut paham demokrasi. Adalah sebuah cacat
logika bila alasan mereka seperti itu karena banyak teknologi-teknologi yang
mereka gunakan juga berasal dari Barat. Padahal keengganan mereka menganut
paham demokrasi adalah tidak lain untuk melanggengkan kekuasaan dan membutakan
rakyat terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan. Dengan sistem
demokrasi maka rakyat berhak mendapatkan transparansi terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga akan kembali kepada rakyat itu
sendiri. Maka, dengan cara apapun akan dilakukan demi mempertahankan sistem
dinastik yang berbaju khilafah ini bahkan dengan menjadikan dalil-dalil agama
sebagai doktrin pembenaran dalam setiap penyimpangan-penyimpangannya.
Kembali
dalam konteks keindonesiaan, kalau melihat sejarah lahirnya Islam di Indonesia,
Islam merupakan agama paling muda di Indonesia. Dimana sebelumnya Indonesia
menganut paham animisme dan dinamisme yang kemudian dimasuki agama Hindu,
Budha, Kristen dan Islam yang paling terakhir. Masuknya Islam ke Indonesia tidak
dengan cara kekerasan atau dengan kata lain dengan cara damai. Dan agama-agama
yang ada di Indonesia hidup dengan damai selama berabad-abad. Adapun secara
umum kekerasaan antar agama dalam ekspansi kekuasaan disebabkan
kepentingan-kepentingan politik atau ekonomi. Namun dalam penyebaran agama
Islam khususnya, dilakukan dengan cara damai tanpa ada kekerasan ataupun
paksaan. Hingga saat inipun konflik-konflik antar umat beragama pada umumnya
bukanlah disebabkan perbedaan agama, akan tetapi kepentingan-kepentingan yang
melatar belakangi terjadinya konflik namun dengan menjadikan agama sebagai
payung pembenaran atas konflik tersebut.
Dasar
negara yang di rumuskan Soekarno atau yang lebih dikenal dengan “Piagam
Jakarta” sempat berlaku selama 57 hari. Sila pertama pada pancasila disebutkan
“Ketuhanan, dengan mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dan
“Piagam Jakarta” inilah yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun, dengan penuh pertimbangan Muhammad Hatta memprotes hal ini sehingga merubah
sila pertama pada Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan otoritas
yang dimiliknya dalam Panitia Sembilan, Muhammad Hatta kembali merumuskan dasar
negara tersebut dan hasilnya di proklamasikan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang
dikenal dengan UUD 1945. Meskipun akibat perumusan dasar negara ini Muhammad
Hatta sempat mendapat kritikan tajam dari kelompok-kelompok Islam tertentu. Sangatlah
wajar apabila kita melihat pluralisme di Indonesia dan tentunya Indonesia yang
diperjuangkannya selama bertahun-tahun dirusak begitu saja dengan dasar negara
yang akan digunakan. Lagipula kalau kita melihat sosok Muhammad Hatta, beliau
adalah seorang muslim yang taat. Sangat ganjil apabila sebagai seorang muslim
yang taat, Muhammad Hatta membuat kebijakan yang merugikan agamanya sendiri.
Kemudian
berbicara demokrasi dalam konteks keindonesiaan, sebagai negara muda yang baru
berusia 10 tahun pada saat itu atau pada tahun 1955 tepatnya. Di bawah kabinet
Burhanudin Harahap, Indonesia pernah melakukan demokrasi secara ideal. Sebuah
pencapaian besar bagi negara yang baru berumur 10 tahun dan sebuah perisitwa
besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Nusantara. Pemilu ini
memiliki dua agenda yaitu memilih parlemen yang sudah berjalan dengan lancar.
Dan yang kedua membentuk Majelis Konstituante yang bertugas menyusun UUD
permanen untuk menggantikan UUDS yang awalnya juga berjalan dengan lancar.
Namun, setelah 3 tahun melakukan sidang (1956-1959) agenda ini terhambat oleh
masalah dasar negara yang akan menjadi acuan yaitu, Pancasila atau Islam.
Pertarungan antara dua dasar negara ini berlangsung tanpa adanya kesepakatan
dan mendorong lahirnya Dekrit 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUDS menjadi UUD
1945 serta membubarkan Majelis Konstituante. Dengan digantikannya dasar negara
menjadi UUD 1945, otomatis Pancasilalah yang memenangkan pertarungan antara
kedua dasar negara ini. Pada masa Orde Baru, Pancasila sebagai dasar negara
sempat dipaksakan kepada seluruh organisasi-organisasi yang ada di Indonesia.
Salah satunya adalah Muhammadiyah yang terakhir (1985) menyepakati Pancasila
sebagai dasar negara ini. Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah beranggapan tidak
ada pertentangan dan tidak hal yang perlu diperdebatkan lagi antara Islam
dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Sungguh
ironis sekali kalau melihat keadaan Indonesia dewasa ini ketika bermunculan
kelompok-kelompok Islam fundamentalisme yang anti-demokrasi. Mereka
menginginkan khilafah Islamiyah di Indonesia. Minimal menjadikan syari’at sebagai
hukum konstitusional di Indonesia. Dengan kata lain menjadikan agama sebagai
sebuah preferensi. Padahal hal ini sangat bertentangan dengan visi sejarah
Indonesia. Kelompok-kelompok Islam fundamentalisme ini mengutuk bahkan
mengklaim kafir orang-orang yang menganut paham atau yang menggunakan sistem
demokrasi ini karena dianggap sebagai produk Barat. Seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya padahal mereka sendiri juga menggunakan produk-produk
Barat. Dan ironisnya salah satu jalan yang digunakan untuk mencapai khilafah
Islamiyah di Indonesia tersebut juga dengan menggunakan sistem demokrasi ini.
Meskipun sampai detik ini demokrasi yang dimimpikan belum sepenuhnya tercapai,
bukan berarti kita menyalahkan dan bahkan mengutuk sistem ini. Secara teori,
demokrasi merupakan sistem ideal untuk kondisi Indonesia saat ini. Hanya saja
belum banyak pemimpin ideal yang bersikap pro-rakyat dan menjalankan sistem ini
dengan semestinya. Meskipun begitu, negara-negara Arab yang menjadi orientasi
sistem khilafah Islamiyah ini bukan berarti menjadi solusi untuk semua
permasalahan yang kita hadapi saat ini. Sistem yang seperti ini justru akan
mengesampingkan sikap egaliter dari penguasanya dan menumbuhkan sikap otoriter.
Sehingga setiap kebobrokan dalam pemerintahan akan ditutupi sedimikian rupa
dengan menjadikan dalil-dalil agama sebagai doktrin pembenaran atas
penyelewengan kekuasaannya.
Dalam
Islam sendiri tidak ditemukan konsep negara itu seperti apa. Apakah demokrasi
atau teokrasi, presidensil atau parlementer, republik atau monarki. Dan
mekanisme pengangkatan kepala negara pun tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
ataupun Sunnah. Dengan kata lain sistem khilafah disini tidak memiliki pijakan
sama sekali untuk berdiri dan menjadi acuan dalam sistem kenegaraan yang akan
dianut oleh warga negaranya. Akan tetapi, dalam survei Gallup World Poll yang meliputi 1,3 Milliar muslim di dunia, mayoritas
lebih menginginkan demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukanlah demokrasi
liberal yang diadopsi mentah-mentah dari Barat tetapi demokrasi yang terdapat
nilai-nilai Islam didalamnya. Misi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin apabila diberlakukan khilafah Islam di
Indonesia juga tidak berlaku lagi. Sebagai agama yang memiliki toleransi,
tentunya Islam tidak akan memaksakan warga negara lain yang bukan beragama
Islam untuk menggunakan syari’at Islam sebagai hukum konstitusional. Adapun
pertanyaan yang sering saya dapati adalah “Bagaimana dengan hukum
konstitusional yang berada diatas hukum Islam?”. Sebenarnya disini kita perlu
memahami Islam secara komprehensif. Kalau kita melihat syari’at yang
memerintahkan membunuh hukumannya pancung, mencuri hukumannya potong tangan
atau yang lainnya lagi bukankah secara substantif hukum itu untuk mengadili.
Dan hukum-hukum konstitusional yang ada di Indonesia secara substantif juga
untuk mengadili. Kemudian masalah adil disini juga perlu persamaan persepsi terhadap
adil itu sendiri terlebih dahulu seperti apa. Bagaimana ketika suatu hukum itu
diberlakukan menurut A adil dan menurut B itu tidak adil ?
Sebelum
terjadinya perang Uhud, Nabi beserta sahabat-sahabat Nabi melakukan musyawarah.
Musyawarah disini untuk menentukan apakah pasukan Nabi akan bertahan di dalam
kota atau di luar kota Madinah. Kemudian suara untuk berperang di luar kota
Madinah pun dimenangkan oleh mayoritas muslim yang bermusyawarah. Nabi sendiri
adalah seorang yang menginginkan agar bertahan di dalam kota. Dengan demikian
suara Nabi agar bertahan di dalam kota dikalahkan oleh mayoritas yang
berpendapat agar berperang di luar kota. Alhasil, pasukan Nabi kalah dalam
perang tersebut. Dari sejarah perang Uhud tersebut dapat dipahami proses disana
lebih utama daripada hasil. Karena proses adalah kewajiban kita dan hasil ada
ditangan Allah. Meskipun Nabi di sana sebagai kepala negara tetap tunduk
terhadap suara mayoritas rakyatnya walaupun berujung pada kekalahan dan
sekalipun Nabi menderita atas kekalahan yang dialaminya tersebut secara fisik.
Demokrasi berlaku disini.
Kembali
pada pertanyaan Quo vadis, domine?
pada bab pertama. Pertanyan tersebut dilontarkan untuk mencari orientasi. Kalau
dimasukkan dalam konteks demokrasi, pertanyaan tersebut menjadi Quo vadis, demokrasi? Dengan kata lain
apabila konteks cerita Santo Petrus ini dimasukkan ke dalam konteks demokrasi
di Indonesia. Janganlah demokrasi melarikan diri dari segalam macam masalah
yang menerpanya dengan mengganti demokrasi menjadi sistem lain yang mungkin
akan lebih banyak menimbulkan masalah. Dengan masalah-masalah pada demokrasi
ini teruslah dilakukan demokratisasi meskipun masih belum tercapai juga negara
yang ideal untuk seluruh warga negara Indonesia. Cobalah untuk lebih menghargai
“proses” dalam demokratisasi ini meskipun belum juga tercapai demokrasi yang
ideal.
Referensi :
Hardiman, F. Budi. 2013. Dalam Moncong Oligarki. Yogyakarta:
Kanisius.
Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan. Bandung: Mizan Pustaka.
Mogahed, Dalia dan Esposito, John L.
2008. Saatnya Muslim Bicara!.
Bandung: Mizan Pustaka.
Abdillah, Masykuri. 2005. Islam Negara dan Civil Society. Jakarta:
Paramadina.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot