Oleh: Immawati Bela Fataya Azmi
Sejak
dahulu tema perempuan telah banyak dibicarakan. Kesetaraan gender, emansipasi
wanita hingga feminisme selalu menjadi topik-topik yang menarik untuk dibahas.
Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara gender, emansipasi dan feminisme,
akan tetapi kesemuanya bertolak pada ketidakpuasan perempuan dalam memahami
perannya.
Berangkat
dari ketidakpuasan itu,
bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang maju dan menyuarakan hak-hak tentang
kesetaraan gender. Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh pahlawan perempuan
seperti R. A Kartini, Dewi Sartika dan lain sebagainya. Emansipasi untuk
menyuarakan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang penting dan untuk
beberapa hal memang dibutuhkan, akan tetapi terkadang protes atas kesetaraan
gender ini mengalami kebablasan, perempuan yang terlalu asyik untuk menunjukkan
dirinya mulai lupa akan kewajiban dan fitrahnya yang utama. Dalam dunia Islam
sendiri, kita “digemparkan” oleh pemikiran Fatima Mernissi tentang ayat-ayat
missogininya, yaitu bahwa Islam mengekang hak-hak perempuan.
Terlepas
dari perjalanan emansipasi perempuan serta pro-kontranya, salah satu hal penting
yang dapat diambil kesimpulan, yaitu perempuan selalu menjadi subyek. Perempuan
menjadi sosok yang memainkan peran untuk membela dirinya.
Namun,
dewasa ini ketika kita dihadapkan pada kata “perempuan” yang kemudian tergambar
dalam benak kita adalah sosok cantik, lembut, feminim atau mungkin juga “tukang
dandan”. Jarang sekali muncul penggambaran perempuan adalah sosok tangguh,
selalu berjalan di depan dan memimpin. Ketika melihat keadaan perempuan di
zaman sekarang, peran perempuan tidak lagi sebagai subyek, akan tetapi telah
berubah menjadi obyek semata.
Contoh
paling nyata, yang seringkali terlepas dari pengamatan kita adalah
produk-produk kapitalis yang secara tidak langsung mencekoki otak—terutama kaum
hawa—untuk mengikuti pola pemikiran mereka. Mereka menciptakan standar-standar
tertentu demi kepentingan ekonomi mereka yang kemudian oleh kita dibenarkan dan
diikuti secara tidak sadar. Kecantikan misalnya, ketika dilontarkan pertanyaan
“Perempuan cantik itu seperti apa?” jawaban yang muncul adalah sosok perempuan
tinggi, berkulit putih serta memiliki rambut panjang dan lurus. Stereotip ini
tidak lain muncul karena adanya iklan-iklan yang menggambarkan standar
kecantikan seorang perempuan adalah berkulit putih, tinggi dan berambut panjang
dan lurus. Dengan stereotip tersebut lantas kaum hawa kemudian akan disibukkan
untuk memenuhi standar itu, sehingga tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk
kembali menjadi subyek dan memainkan peran, tetapi semata-mata menjadi obyek
atas kuasa kaum kapitalis.
Parahnya
lagi, untuk memenuhi standar kecantikan semu tersebut, perempuan dengan rela
harus merasakan sakit terlebih dahulu. Diet atau bahkan operasi plastik rela dilakukan
hanya untuk tampil cantik versi media. Pada titik ini, perempuan tidak hanya
kehilangan perannya dan menjadi obyek, tetapi secara tidak sadar perempuan
telah menjadi korban atas standar-standar yang dibuat demi kepentingan-kepentingan
tertentu tersebut.
Melihat
perempuan yang dengan sendirinya kehilangan perannya, bukan lagi saatnya kita
membahas berlembar-lembar hal mengenai kartini dan teman-temannya, bukan lagi
saatnya kita melongo bingung dengan pemikiran Fatima Mernissi, tetapi sudah
saatnya bagi kita melihat ke dalam diri kita dan mulai bertanya, sampai kapan
kita akan terus menjadi obyek? Kapankah kita bergegas dan kembali menjadi
subyek atas segala sesuatu?
Referensi:
Stefani,
Ketty. 2009. Pdf: Kritik Ekofeminisme.
Jakarta: UI
Goenawan,
Felicia. 2007. Jurnal Ilmiah: Ekonomi
Politik Iklan di Indonesia terhadap Konsep Kecantikan. Volume I, Nomor 1.
Aprilia,
Dwi Ratna. 2005. Pdf: Iklan dan Budaya
Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan.
Volume I, Nomor 2.
www.dakwatuna.com
“Hakikat Penghormatan terhadap Wanita”
dilihat tanggal 2 Juli 2015 Pkl. 23.02 WIB
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot