Kekerasan usianya sudah setua sejarah dan
peradaban, namun bukannya berkurang tapi justru semakin meningkat. Survei yang
dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menunjukkan
sepanjang tahun 2012 tingkat kekerasan di sekolah mencapai 87,6%. Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada
tahun 2011 terjadi 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh
Indonesia, dan pada Januari-Juni 2012 terjadi 585 kasus. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) juga mencatat setidaknya ada 68 kasus kekerasan pada
jurnalis selama periode Desember 2011-Desember 2012.
Merajalelanya kekerasan ini tidak berhenti di tahun 2012. Karena pada tahun
2013 ini, kekerasan kembali “menampakkan wajahnya” di hadapan publik. Sebut
saja seperti pada Januari 2013, telah terjadi 96 kasus kekerasan yang
melibatkan aparat kepolisian, atau sebutan untuk tahun 2013 sebagai tahun
“darurat kekerasan seksual anak” Indonesia. Kemudian, beberapa pekan lalu kekerasan
juga melanda kota Jogjakarta seperti, kasus pembunuhan di Hugo’s CafĂ©,
pembacokan di Lempuyangan, penyerbuan di LP kelas II B Cebongan-Sleman, dan
perampokan di kantor Pegadaian Syariah.
Berbagai kekerasan tersebut bukan lagi menjadi sesuatu yang lumrah. Kekerasan
yang terus menerus ditampakkan dan dipelihara, lambat laun juga akan mengikis
budaya bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran ini. Inilah
yang menjadi PR bersama, bahkan segenap awak media massa pun sepatutnya juga
ikut andil dalam meminimalisir terjadinya beragam kekerasan di negeri ini.
Dalam persoalan konflik, media massa memiliki tiga posisi yang bisa
dijalankannya, yaitu sebagai issue intensifier yang berposisi memunculkan
konflik kemudian mempertajamnya, conflict diminisher yakni
menenggelamkan suatu isu atau konflik secara sengaja, dan conflict resolution
yakni berposisi menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai
perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Dan
jika disandingkan dengan merajelalanya “wabah” kekerasan di Indonesia,
media massa nasional maupun lokal bisa memposisikan dirinya sebagai conflict
resolution.
Dalam persoalan kekerasan, media massa bila perlu tidak hanya menuliskan
kronologi terjadinya kekerasan, tapi juga pernyataan dari pihak yang bertikai,
serta narasumber lain yang bisa memberikan solusi atas perkara yang
dipermasalahkan. Sehingga akar masalah dari peristiwa tersebut dapat terungkap.
Dengan kata lain, media massa tidak memihak pada satu pihak tertentu.
Memberitakan akar masalah yang menjadi pemicu kekerasan justru lebih penting,
daripada hanya memberitakan proses terjadinya kekerasan itu sendiri. Jika yang
diberitakan adalah akar masalah dan solusinya, maka masyarakat akan mengetahui
sebab terjadinya tindak kekerasan tersebut dan tahu cara menghindari serta
menghadapinya. Sebaliknya, jika yang diberitakan itu lebih banyak mengenai
proses terjadinya kekerasan, secara tidak langsung media memberitahukan pada
khalayak cara melakukan kekerasan.
Untuk itulah, peran media massa memang sangat dibutuhkan dalam menurunkan
jumlah kekerasan yang terjadi di negeri ini, baik dengan cara meminimalkan
jumlah beritanya, atau pun pemberitaan yang mengarah pada penyelesaian masalah.
Karena media massa itu mampu membentuk opini publik. Dan pernyataan “Bad
News is Good News” itu, tidak selamanya benar.
(Immawati sakinah, KPI 2009)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot