A. Latar Belakang dan Historis
1. Al-Ghazali
Diperkirakan kelahiran beliau berlangsung pada periode Abbasiyyah kedua, Menjelang
kelahiranya, pengaruh Dinasti Abbasiyyah saat itu sudah tidak dominan dan
bahkan sudah sangat lemah, melainkan secara faktual kekuasaan berada di tangan
Dinasti Saljuk, penguasa-penguasa saljuk seperti al-Ghazali menganut Mazhab
Syafi’iyyah ( hukum fiqh ) dan Asy’ariyyah ( teologi ). Akibatnya, kompabilitas
dengan penguasa-pengusa, al-Ghazali menikmati
segala kenikmatan, seperti halnya tokoh
politik yang urgen dihubungkan dengan keilmuan beliau adalah Nizam al-Mulk.
Keluarga yang taat menjalankan agama, ayahnya seorang penenun wol
dengan ekonomi sedarhana tapi religious dalam sikapnya, sedangkan ibunya
adalah Margareth Smith. Sepeninggalan ayahnya, al-Ghazali dititipkan pada
seorang Sufi yang hidupnya sangat sederhana Ahmad ar-Rozkani, suasana yang
sufistik ini yang menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk “kesadaran”
al-Ghazali.
Setelah meninggalnya al-Juwayni, al-Ghazali pergi ke kota
Mu’askar yang menjadi gudang sarjana pada waktu itu. Di sini beliau
menemui Nizam al-Mulk dan disambut dengan baik, oleh karena kedalaman ilmunya
semua mengakui kehebatan dan keunggulannya, maka jadilah al-Ghazali “Imam” di
wilayah khurasan ketika itu, setelah melihat kepakaran dan kompeten dalam bidang
fiqh, teologi, dan filsafat maka beliau diangkat menjadi “guru besar” teologi
dan “rector” di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad 484 H/ Juli 1091 pada
usianya yang ke-34 tahun.
Dalam tempo kurang dari 2
tahun, beliau telah menguasai fisafat Yunani secara otodidak yang terutama
sudah diolah oleh para filosuf muslim. Seperti Al-Farabi(870-950), Ibn Sina
(980-1037) dibuktikan dengan karyanya yang pertama “Maqashid al-Falasifah” yang
berisi tentang logika, metafisika, dan fisika.
2. Fazlur Rahman
Lahir di Hazara Pakistan pada 21 Sepetember 1991 dan wafat di
Chicago 65 tahun yang lalu setelah
terbentuknya Pakistan 14 Agustus 1947, dia
bersal dari keluarga yang alim
(taat bergama)
dengan menganut Madzab Hanafi. Sama sepeti al- Ghazali karakter kepribadianya
terbentuk dari latar belakang keluarganya dan ayahnya yang kerap kali
mengajarkan Agama yang disiplin tinggi sehingga mampu menghadapi berbagai
peradaban yang berubah- ubah, dan setting historis Rahman juga dilatar
belakangi oleh upaya pakar-pakar Muslim. Dalam mencari identitas bagi Negara
yang baru melepaskan diri dari India Pakistan menjadi ajang kontroversi
publik antara kaum Modernis dengan
kaum Tradisionalis dan Fundamentalis di pihak
lain. Setelah melewati karier intelektual cukup panjang Rahman sejak 1970
menetap di Universitas Chicago sebagai Profesor salah satu pusat kajian Islam
di Amerka Serikat yang terkenal sarang Orientalisme Barat. Salah satu faktor
mengapa ia hijrah karena Rahman memandang ulama di Pakistan belum sesuai
hidupnya dengan al-Qur’an pada kebebasan yang bertanggung jawab.
B. Konsep- konsep Eskatologi
Konsep
dasar keilmuan eskatologi mereka sangat berpengaruh terhadap bangunan
konsepnya:
1. Kematian
Makna kematian memposisikan dunia dan akhirat
A1-Qur’an memiliki argumen untuk merespon pandangan bahwa kematian
adalah akhir dari segalanya, dengan demikian sejak masa-masa awal al-Qur’an
sebetulnya sudah mengajukan berbagai argumen untuk membungkam para pengingkar
doktrin akhir. Fazlur Rahman mengeksplorasi 3 argumen: Pertama, bahwa
Allah telah menciptakan bumi dan bentuk segala kehidupan yang jumlahnya tidak
terhitung atau tidak pula diketahui, bisa direnungkan berarti Allah dapat pula
menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan yang tidak diketahui. Kedua,
sebagaimana Allah menciptakan percikan api dari kayu hijau yang basah, Allah
dapat pula membuat mati dan hidup secara bergantian. Ketiga, contoh khas
yang diberikan al-Qur’an tentang menghidupkan atau membangkitkan sesuatu yang
sudah mati adalah bumi yang menjadi subur
di musim semi setelah ia mati di musim salju.
Kemudian al-Ghazali
melengkapi argument Rahman dengan mengemukakan 3 argumen juga : pertama,
bahwasahnya al-Qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang
kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Kedua, betapa
kekuasaan Allah begitu nyata di depan mata yaitu mampu membuat Ashabul Kahfi
hidup selama ratusan tahun setelah mati ratusan tahun. Ketiga
mengembalikan yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan
memulai sesuatu untuk kedua kalinya. Dengan demikian ada proses saling
melengkapi diantara kedua tokoh.
2. Alama Barzakh
Doktrin tentang alam barzakh adalah doktrin eskatologi yang hanya
dianut dalam Islam, al-Ghazali
mengidentifikasi alam barzakh dengan balasan pahala atau ganjaran dosa di suatu
alam tertentu. Yang berlangsung sejak manusia meninggal sampai ia dibangkitkan
kembali pada Hari Kiamat. Lebih lanjut menurut al-Ghazali ketika di dalam kubur
(alam barzakh) akan mengalami 4 kondisi yang disesuaikan dengan perbuatanya
diantaranya: ada di antara mereka yang duduk di atas tumitnya sampai matanya
hancur berantakan sementara jasadnya bengkak. Setelah proses ini akan berputar
di alam malakut di bawah langit, ada yang diberi oleh Allah rasa ngantuk sampai
tidak bangun dan tidak mengetahu ada peniupan terompet dan mereka di kuburnya
hanya tiga bulan kemudian jiwanya akan naik kesurga seperti burung yang terbang
dll. Ini adalah gambaran umum formulasi al- Ghazali dengan jelas mengaitkan
doktrin ini dengan nikmat dan siksa, kebanyakan sumber yang dijadikan landasan
argument dalam hal ini hadist ataupun riwayat sahabat dan satu- satunya sumber
yang diadopsi dari al-Qur’an adalah surat.
Dari sini terdapat sisi yang berbeda dimana Rahman tidak
menyebutkan istilah kiamat kecil ia berangkat dari hadis dan konsepsi Rahman
dalam maslah alam barzakh sangat bertolak belakang dengan al-Ghazali. Rahman
memberi sangkalan bahwa doktrin eskatologi tentang adanya pengadilan pra kiamat
yang kemudian dibalas dengan kenikmatan atau malah diganjar sebenarnya tidak
ditemukan dalam al-Qur’an melainkan didalam hadis. Rahman sendiri meyakini
bahwa surga dan neraka telah dimulai ketika manusi berada di alam kubur, dengan kata lain ia tidak memahami kualitas barzakh
sebagai realistas perantara sebagaimana al-Ghazali.
C. Sumber Pengatahuan
1. Teks
Ttradisi keilmuan Islam teks adalah sumber yang lebih kuat
validitasnya, sebagian kalangan menganggap bahwa teks itulah sebenarnya yang
merupakan sumber pengetahuan satu-satunya dalam keilmuan Islam. Dalam menyikapi
teks tersebut Rahman memiliki beberapa perbedaan dengan tokoh – tokoh “ bayani
” terutama dengan al-Ghazali khususnya dalam eskatologi. Ia berbeda dari al-Ghazali
dalam penggunaan sumber- sumber otoritas yang dapat dirujuk sebagai teks
sumber hal ini tentu saja disebabkan
karena perbedaan pemahaman atau asumsi keduanya dalam menilai teks keagamaan,
yang kemudian membedakan karakter bayani al-Ghazali dari Rahman pernyataan
dimaksud akan dielaborasi sebagai berikut :
a. al-Qur’an
Sesungguhnya Allah telah memberikan anugerah akidah yang benar
menurut kebaikan agama dan dunia kepada kepada hamba- hambanya melalui lisan
utusanya, dimana semua pengetahuanya tersebut telah termaktub dalam al-Qur’an
dan hadis (al – akhbar) Penegasan semacam ini selalu ditonjolkan al-Ghazali
dalam setiap dan penutup karya- karyanya. Yang menguraikan konsep keislaman,
khususnya akidah berdasarkan pemahan yang digali dari teks al-Qur’an dan Sunah
oleh karena itu al-Qur’an menjadi sumber materi akidah, maka al-Qur’an juga
dianggap sebagai sumber argument tekstual bagi kebenaran akidah, dan sumber
inspirasi bagi para teolog dan filsuf dalam mengolah argumentasi rasional,
al-Ghazali bahkan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan yang dapat di gali dalam
al-Qur’an tidak dapat dihitung.
1. Gagasan dualisme jiwa dan raga
Tampaknya al-Qur’an tidak mendukung ide tentang doktrin dualism
jiwa – raga yang radikal yang dikemukakan dalam falsafah Yunani: sesungguhnya
tidak ada sesuatu bagian didalam al-Qur’an yang terdiri dari substansi yang
terpisah, apalagi yang bertentangan raga
dan jiwa. Sebagaimana penelitian Rahman menunjukan falasifah maupun al-Ghazali
keduanya memiliki kekeliruan dalam pola argumentasi dasar, seperti asumsi
Rahman dari hasil mengkritik dua golongan menganut gagasan dualisme jiwa – raga
yang nyatanya bukan bersumber dari al-Qur’an.
2. Doktrin siksa dan nikmat di alam barzakh
Doktrin ini sesungguhnya telah menjadi dogma ‘ mapan ’
hampir semua kalangan baik filsuf, teologi, lebih- lebih al-Ghazali sendiri
mengakui bahwa aka nada siksa dan nikmat di alam barzakh.Disamping itu Rahman
juga menjelaskan melalui perpektif doktriner, ia berusaha pula menjelaskanya
melalui penelusuran historis yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa doktrin
siksa dan nikmat di alam barzakh ini bukanlah doktrin yang berasal dari al-Qur’an
melainkan hanya terdapat dalam hadis yang sesungguhnya diimportasikan dari Zoroasterianisme.
3. Doktrin tentang syafaat
Dalam menolak doktrin syafaat ala ortodoks ini, Rahman cukup hanya mengandalkan logika tafsir
ayat al-Qur’an sendiri, jika penolakan Rahman ini dikontraskan dengan formulasi
eskatologi al-Ghazali sepintas akan tampak bahwa dalam konteks validitas
penukilan argument al-Qur’an disini Rahman menunjukan kelemahan al-Ghazali.
b.
Hadis
Jika al-Qur’an dinyatakan sebagai sumber pertama bagi perujukan
konsep eskatologi al-Ghazali dan Rahman, maka
yang menjadi sumber keduanya adalah hadis, bagi Rahman ada persoalan penting
untuk mencermati hadis dan Sunah. Rahman berkeyakinan bahwa hadis menjadi
konsep penyayom tapi tidak berarti memiliki kandungan yang bersifat spesifik
mutlak, secara definitive hadis dalam pemahaman Rahman tidak berbeda dari
pemahaman pakar lainya. Hadis merupakan kumpulan informasi mengenai segala
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad sedangkan Sunah adalah sebuah
konsep perilaku baik diterapkan dalam aksi fisik atau aksi mental.
c.
Taurat dan injil
Disamping al-Qur’an dan hadis al-Ghazali untuk mendukung
argumentasinya menggunakan sumber luar islam yaitu taurat dan injil, dalam hal
ini formulasi al-Ghazali ditemukan hanya satu tempat yaitu ketika ingin
menjustifikasi pandanganya bahwa kondisi manusia yang akan dibangkitkan pada
hari kebangkitan sama persis sebagaimana ketika mereka diciptakan yang pertama
kali.
d.
Zoroasterianisme
Zoroasterianisme adalah salah satu agama tertua didunia yang bersal
dari Iran pra Islam, istilah ini mengacu pada nama pendirinya yaitu
Zarathustra, pengaruh dari agama ini terletak dalam bangunan doktrin eskatologi
yang mempengaruhi pemikiran Barat. Kemudian eskatologi Zoroasterianisme dan
eskatologi Islam di justifikasi oleh Rahman memvonis bahwa Zoroasterianisme ini
yang melandasi munculnya doktrin Barzakh yang secara sepintas meruntuhkan
eskatologi Islam sungguh penarikan kesimpulan ini diragukan dan perlu diteliti
lagi.
2. Akal
a. Posisi akal
Al-Ghazali dan Rahman sangat meyakini potensi akal untuk
mengungkapkan kebenaran dan makna, keduanya tampak memiliki pandangan yang sama
apresiasinya terhadap akal, al-Ghazali mengupas secara teorotis disbanding
Rahman, yang membedakan keduanya yaitu pada titik tekan implikasi atau
konsekuensi. Bila al-Ghozali menekan perlunya manusia menggunakan akal guna
memperbanyak ilmu, Rahman menekan keterkaitan akal manusia dengan moralitas.
b.
Pengaruh filsafat
Sub ini akan dilihat sejauh mana apresiasi diejawantahkan dalam ide
eskatologinya, disini pola piker Aristoteles,
Plato teah mempengaruhi al-Ghazali dan juga pemikir Ibn Sina dan al-Farabi yang
berda dalam pengaruh Yunani, sedangkan Rahman senantiasa berpijak pada Qurani
tetapi disamping itu juga dipengaruhi oleh Filsuf Barat lainya.
3. Indera dan intuisi
Sumber ini juga digunakan oleh al-Ghazali untuk membahas konsep
eskatologinya , namun hal ini tidak digunakan oleh Rahman.
4. Metode keilmuan
Metode keilmuan mereka dalam epistemologi mengacu pada sumber, jika
rasio pada akhirnya melahirkan metode filosofi, intuisi melahirkan mistis, maka
metode kalam dilahirkan oleh dialektika antara teks dan nalar, pernyataan
dimaksud akan dikaitkan dengan eskatologi al-Ghazali dan Rahman.
a. Kalam
Sebagai metode kalam dipahami sebagai teologi defensife (
bersifat pembelaan atau pertahanan diri ) pendekatan dialektika merupakan pergeseran
secara perlahan dari teks dan nalar.
b.
Filosofi
Metode filosofi lebih menekankan dimensi esoteris, batiniah
, transcendental, abstrak, dan open ended, bangunan pengetahuan
didasarkan atas sejumlah ide filsafat sebagai kerangka rujukan.
c.
Mistis
Dalam filsafat Islam, kecenderungan mistisme islam menempati posisi
paling meruyak, dimana metode ini mendasarkan pada pengalaman intuitif
individual, metode ini memiliki metode
yang menantang pengetahuanya adalah sebuah bentuk perasaan individu.
v
Eskatologi klasik
Versi al-Ghazali
§
Tentang dunia dan
akhirat
a. Dunia kontra dengan akhirat
b. Dunia menghalangi orang akan amalan
akhirat (2 wujud yg sulit disatukan)
Kemudian al-Ghazali
melengkapi argument Rahman dengan mengemukakan 3 argumen juga : pertama,
bahwasahnya al-Qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang
kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Kedua,
betapa kekuasaan Allah begitu nyata di depan mata yaitu mampu membuat Ashabul
Kahfi hidup selama ratusan tahun setelah mati ratusan tahun. Ketiga
mengembalikan yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan
memulai sesuatu untuk kedua kalinya
§
Tentang Siksa dan
Nikmat di alam Barzakh
Ghazali: sebelum ke akhirat, manusia diinterogasi
dulu di alam kubur
§
Dualisme Jiwa dan
Raga (imbas dari al-Farabi dan Ibnu Sina) dan syafaat
ü
Ghazali: Kebangkitan
jasmani dan rohani
ü
Ghazali: ada syafaat
ü
Ghazali:
Metafisis-ontologis
Dampaknya : umat takut neraka, ingin
syurga
ü
Ghazali: mistis- Kalam-apologetik
Versi Fazlur Rahman:
a. Dunia BUKAN lawan akhirat
b. Dunia
sebagai fase pengumpulan benih menuju akhirat
Fazlur Rahman mengeksplorasi 3
argumen: Pertama, bahwa Allah telah menciptakan bumi dan bentuk segala
kehidupan yang jumlahnya tidak terhitung atau tidak pula diketahui, bisa
direnungkan berarti Allah dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk
kehidupan yang tidak diketahui. Kedua, sebagaimana Allah menciptakan
percikan api dari kayu hijau yang basah, Allah dapat pula membuat mati dan
hidup secara bergantian. Ketiga, contoh khas yang diberikan al-Qur’an
tentang menghidupkan atau membangkitkan sesuatu yang sudah mati adalah bumi yang menjadi subur di musim semi setelah
ia mati di musim salju.
§ Tentang Siksa dan Nikmat di alam Barzakh
Versi
Rahman: gagasan tentang azab kubur merupakan pengaruh Zoroasterianisme (Majusi)
di Iran, tidak ada dalam al-Qur’an. hadis2 tentang azab kubur merupakan gagasan
impor dari Zoroasterianisme.
§ Dualisme Jiwa dan Raga (imbas dari al-Farabi
dan Ibnu Sina) dan syafaat
ü Rahman: jiwa dan raga=integratif
ü Rahman: menolak adanya syafaat (nasib manusia
di akhirat terkait amal di dunia)
ü Rahman: tidak ada motif teologis
ü Rahman: etis-antropologis
Dampaknya:
menanamkan etika kepada umat (Syurga & neraka: menegakkan nilai moral dlm
diri umat)
ü Rahman: filosofis+ kalam
ü
Eskatologi
kontemporer
Dalam perspektif modern, keabadian jiwa
didukung oleh berbagai ilmu, biologi misalnya, khususnya hukum keturunan
(heredity), sifat-sifat mental dan fisik dari orang tua turun kepada anak
keturunannya. Oleh jarena itu keabadian adalah sesuatu yang logis dan tidak
bertentangan dengan kenyataa dimana perbincangan seputar
persoalan-persoalan eskatologi melahirkan asketism.
Sebuah pandangan hidup yang menjadikan alam akhirat sebagai tujuan
utama dalam hidupnya tanpa melupakan kewajibannya di alam dunia (Musa
Asy’arie,2002:239).
Harun Nasution berpendapat bahwa
kekekalan pribadi bisa diterima sebagai suatu hal yang logis. Menurutnya, ilmu
modern telah menyatakan bahwa otak manusia tidak berfungsi produktif, tetapi
transitif (pelengkap), sebab otak adalah jaringan materi yang bisa rusak dan
digantikan dengan jaringan yang baru. Dapat diketahui bahwa otak manusai lebih
berfungsi transitif dan daya akallah yang merupakan sumberberfikir. Daya inilah
yang merupakan wujud di belakang otak dan tidak akan mati dengan matinya otak
atau badan.
Jadi, seandainya
hari pembalasan itu tidak ada, maka penganut agama dan ateis sama-sama selamat
sama-sama tidak merugi. Namun, kalau hari pembalasan benar-benar terjadi, maka
teis selamat, sedangkan ateis tidak selamat. Dan sudah pasti kematian itu
benar-benar datang kapan pun dan dimana pun kita berada.
Dalam al-Qur’an dan hadis keimanan
seseorang selalu dikaitkan dengan masalah iman kepadahari akhir, tanda-tanda tentang hari akhir banyak disinggung di dalam
al-Qur’ān. Banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan erat dengan kebangkitan dan
kehidupan setelah mati. Bahasa-bahasa yang digunakan sebagai simbol yang
menunjukkan kepastian Hari Akhir beragam sekali seperti Hari Penegasan (Yawm
al-Qiyāmah), Hari Akhir (al-Yawm al-Ākhir), Hari yang Dijanjikan (al-Yawm
al-Maw‘ūd), Hari Keputusan (Yawm al-Fashl), dan lain sebagainya.
Seperti yang tercantum di dalam ayat yang berarti:
“Sesungguhnya
Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari (yang pada waktu
itu ditup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok, dan dibukalah
langit, maka terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-gunung maka
menjadi fatamorganalah ia (an-Naba: 17-20).
Kesimpulan
Perbincangan tentang
eskatologi sebenarnya menarik untuk kita kaji. Hal itu dikarenakan banyak hal
yang seringkali disalah artikan oleh manusia mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan hari akhir, baik itu persoalan kematian, kiamat, hari kebangkitan, dan
lain-lain. Jika hal-hal seperti itu hanya diartikan dengan logika imajinatif,
maka ujung pangkal dari keyakinan manusia pada dasarnya hanyalah sebagai sebuah
ilusi. Maka dari itu penting kiranya bagi kita untuk dapat melakukan pencarian
makna eskatologi sebelum kematian tiba pada diri kita. Supaya segala doktrin
yang berkaitan dengan eskatologi dapat diterima dengan akal sehat.
Kematian merupakan kepastian,
maka secara psikologis pengaruhnya amat besar dalam bawah sadar kehidupan
seseorang dan dalam perilaku manusia. Hidup manusia, menurut Martin Heidegeer,
adalah suatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian Pembuktian bahwa
ruh itu abadi, adalah sebagai petunjuk bagi kita bahwa kehidupan tidak berakhir
selepas kematian tiba. Namun pada dasarnya manusia dihadapkan pada
pertanggungjawaban hidup yang sebenarnya, yaitu karma dari apa-apa yang telah
dilakukannya di dunia. Untuk mengakhiri kesimpulan ini, ada sebuah ungkapan
bijak, “Jika kita “buta” di dunia, maka “buta” pula di akhiratnya”.
Semoga kita senantiasa menempatkan diri dalam ketunggalan Tuhan.
by. Immawati Yuliati (KPI 2010)
REFRENSI
o
PROF.DR. H,M,
ABDULLAH AMIN., Epistemologi Klasik Kontemporer: Eskatologi Al-Ghozali dan
Fazlur Rahman, ISLAMIKA Yogyakarta,
cetakan pertama Maret 2004.
o
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan
Menjadi Optimisme (Jakarta: Hikmah, 2005), hlm. 72.
o
Bakhtial Amsal, filsafat
agama, Logos wacana ilmu Jakarta , cetakan kedua 1999, hal 219.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot