Kamis, 10 Januari 2013

Relasi Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Dan Kaum Muda Muhammadiyah




A.      PERJALANAN KH. AHMAD DAHLAN 

KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Mengingat Muhamadiyah merupakan organisasi yang didirikan oleh Kyai Dahlan sebagai wadah
memperjuangkan ajaran islam. Kyai Dahlan dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dengan
nama Muhammad Darwis dari pasangan KH. Abu Bakar (imam khatib masjid besar Kesultanan
Yogyakarta) dan Nyi Abu Bakar/Siti Aminah (puteri H. Ibrahim, Hooft penghulu Yogyakarta). Darwis
merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dan secara silsifah Darwis merupakan keturuan kedua
belas Maulana Malik Ibrahim (salah seorang wali songo)[2]. Sejak kecil Muhammad Darwis dididik dalam
lingkungan pesantren sejak dari kecil sehingga menyebabkan ia akrab dengan pelajaran agama. Pada
usianya yang ke 15 tahun (1883) ia pun memutuskan diri untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab
ke Mekkah. Ia pun mulai berkenalan dengan pemikir islam popular pada saat itu seperti Muhammad
Abduh, Jamaluddin al Afghani, Rasyid Ridha. Muhammad bin Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah[3]. Dari
tokoh pembaharuan islam inilah Darwis mengalami pergolakan pemikiran tentang perlunya islam yang
transformatif yang sesuai dengan landasan Al Qur’an dan al Hadist. 5 tahun (1988) setelah keberangkatan
Darwis kembali lagi ke Indonesia. Dan mengganti namanya dari Muhammad Darwis menjadi Ahmad
Dahlan. 

Sepulang dari Mekkah tidak serta Ahmad Dahlan memubazhirkan ilmunya. Ia pun diangkat menjadi
diangkat menjadi Khatib Imam di masjid Kesultanan Yogyakarta (sekarang menjadi Masjid Gedhe
Kauman). Untuk memperdalam ilmu keislamannya ia pun kembali naik haji dan mendalami ilmu agama di
Mekkah. Ia pun kembali mengoleksi beberapa khazanah keilmuan termasuk majalah Al Manar yang
menuang pemikiran Muhammad Abduh. Sepulangnya dari Mekkah Kyai Dahlan Menikah Siti Walidah
sehingga di karuniai 6 orang anak. Selain itu, Kyai Dahlan juga pernah menikahi Nyi Abdullah (janda KH.
Abdullah), Nyai Rum (adik Kyai Munawir Krapyak), Nyi Aisyah (adik Ajengan penghulu) Cianjur dan Nyi
Yasin Pakualaman Yogyakarta[4].

Dari ilmu yang dipelajarinya, Kyai Dahlan perlahan melakukan dakwah kepada masyarakat salahnya yang
cukup fenominal adalah menggeser (memberi garis) posisi shof shalat di Masjid Gedhe Kauman 241/2
derajat ke utara dan mengajar di Sekolah Belanda. Kemampuan Kyai Dahlan bukan hanya dalam masalah
dakwah keagamaan melainkan juga mempunyai kemampuan dalam ilmu falak dan seni[5]. Dengan penuh
kemantapan Kyai Dahlan menjalankan dakwahnya ditengah praktek keagamaan yang becampur dengan
budaya lokal atau lebih lazim di sebuat Taqlid, Bid’ah dan Khurafat (TBC). Pola dakwah Kyai Dahlan
sentak mendapat reaksi dari beragam pihak baik dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Bahkan
langgar (surau) yang ia dirikan di robohkan oleh mereka yang tidak setuju dengan gagasan dan pemikiran
Kyai Dahlan.

Keunikan Kyai Dahlan dalam berdakwah adalah memposisikan kaum muda. Salah satunya dengan mendidik Pamong Praja (calon pejabat) di ASVIA Magelang dan para calon pengajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena itulah beberapa murid generasi awal seperti Hisyam, Fachruddin dan Syudja’ merasa nyaman dengan gagasan pemikiran Kyai Dahlan. Bahkan untuk mengajarkan inti ajaran islam Kyai Dahlan mengulang-ulang surat Al Ma’un sampai sang murid mempraktekkan maksud dari ayat tersebut. Ditengah kesibukan Kyai Dahlan sebagai Kyai. Ia juga menjadi sudagar tekstil untuk daerah Surabaya, Jakarta, Pekalongan, Jogja bahkan sampai ke Sumatera. 

Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan 18 November 1912 di Kauman Kyai Dahlan bersama para muridnya seperti Fachruddin, Syuja’, Hisyam, Tamim, Syarkawi dan Abdul Ghani menggagas berdirinya organisasi persyarikatan Muhammadiyah sebagai wadah untuk berdakwah dan berjuang. Maksudnya, Muhamadiyah sebagai upaya untuk mengajarkan ajaran Nabi Muhammad dan memajukan islam didalam para anggotanya mengingat bangsa Indonesia berada dalam cengkaraman penjajahan belanda dan tercampurnya praktek ibadah umat islam dengan TBC. Setelah 2 tahun pengajuan badan hokum pada Hindia Belanda Muhamamdiyah mendapatkan surat ketetapan dari pemerintah dengan no. 18 tanggal 22 Agustus 1914 dan hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta karena Belanda khawatir dengan gerakan Muhammadiyah. Kyai Dahlan menyiasati nama cabang Muhamamdiyah di Yogyakarta dengan memberi nama lain Nurul Islam (Pekalongan), al Munir (Makasar), Ahmadiyah (Garut) dan Sidiq Amanah Tabligh Fatonah/SATF (Solo)[6]. Padahal jauh hari sebelumnya Kyai Dahlan juga aktif dalam bebarapa organisasi seperti Jamiatul Khair, Budi Oetomo, Serikat Islam dan Commite Kanjeng Nabi Muhammad.

Maksud dan tujuan Muhammadiyah “menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam agama Islam sehingga terwujud masyarakat yang sebenar-benarnya.”[7]. Dan ciri kepemimpinan Muhammadiyah bersifat kolektif kolegial.

B.      PERJALANAN DAKWAH MUHAMMADIYAH

Keberhasilan Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah sejak tahun 1912 tidak secara serta merta aman dari intimidasi dari berbagai pihak. Gerakan Muhammadiyah yang mentik-beratkan pola gerakannya pada kelas menengah senantiasa akan berhadapan dengan tingkat struktur secara lebih nyata. Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian islam dan organisasi reformis sejak kelahirannya mendorong perubahan atas kejumudan sistem dan berfikir. Gerakan pemurnian lewat penghapusan TBC kemudian oleh sebagian kalangan bahwa Muhamamdiyah mengabaikan nilai-budaya masyarakat yang sudah berlangsung dan berkembang secara turun temurun. Padahal dalam faktanya, hingga sampai saat ini banyak budaya yang tetap dilestarikan oleh Muhammadiyah, hanya saja dilakukan modifikasi konten isi seperti yang dilakukan di Lembaga Seni, Budaya dan Olahraga dibeberapa level pimpinan Muhammadiyah.

Sejak Muhamamdiyah didirikan dalam perjalanannya Muhammadiyah mencirikan diri dalam pola perjuanganya setidaknya menitik-beratkan pada 3 hal[8]. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan islam. Pentingnya pendalaman pengetahuan terhadap Al Qur’an merupakan hal yang mendorong lahirnya Muhammadiyah sehingga keberadaan Al Qur’an dapat dibumikan dan menyentuh dasar kehidupan manusia. Dari sinilah keberadaan pentingnya ijtihad dihadirkan. Kedua, Muhamamdiyah sebagai gerakan dakwah islam. Berdirinya Muhammadiyah yang dilatar-belakangi pendalaman Kyai Dahlan terhadap QS. Imran : 104 dan memposisikan ayat ini sebagai khittah dan strategi perjuangan maka Muhammadiyah memanefestasikan ayat ini dalam ragam bentuk amal usaha sejak berdirinya dan dapat dinikmati sampai saat ini oleh seluruh umat. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Keberadaan tajdid dapat dilihat dari 2 hal yakni pemurnian (furifikasi) dan reformasi. Furifikasi dimaknai sebagai upaya Muhammadiyah dalam memurnikan praktek keagamaan yang mulai bercampur dengan budaya lokal TBC. Sedangkan reformasi, Muhammadiyah memperbaharui  cara penyelenggaraan pendidikan, penyantunan fakir miskin, zakat, rumah sakit, shalat ied dan idhul kurban.

Perjalanan dakwah Muhamadiyah sejak didirikan sampai menapaki abad kedua tetap mengkonsentrasikan pada pengembangan pendidikan, kepedulian social dan kesehatan yang ditandai dengan semakin berkembangnya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) meski pada abad kedua secara perlahan Muhammadiyah mengembangkan beberapa potensinya dalam bidang lain seperi ekonomi, pemberdayaan masyarakat, kebudayaan dan lainnya dengan mendirikan lembaga dan pusat studi lewat AUM dan struktural disetiap level pimpinan. Sehingga keberadaan AUM menurut pandangan Hilman Latief disebut sebagai lembaga social-voluntari-nirlaba. Adapun perkembangan AUM sampai saat ini (tahun 2010) sudah  berkembangan dengan sangat signifikan[9].

No
Jenis Amal Usaha
Jumlah
1
TK/TPQ
4.623
2
Sekolah Dasar (SD)/MI
2.604
3
Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs
1.772
4
Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA
1.143
5
Pondok Pesantren
67
 6
Jumlah total Perguruan tinggi Muhammadiyah
172
7
Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll
457
8
Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll.
318
9
Panti jompo *
54
10
Rehabilitasi Cacat *
82
11
Sekolah Luar Biasa (SLB) *
71
12
Masjid *
6.118
13
Musholla *
5.080
14
Tanah *
20.945.504   M²


Ditengah perkembangan AUM yang semakin pesat tentunya membutuhkan penupang dan perangkat untuk lembaga kedermawanan (filantropi) ini[10]. Karenanya oleh sebagian kalangan ilmuan barat menganggap Muhammad sebagai gerakan “muslim modernis”[11]. Setidaknya Hal tersebut didasarkan pada gagasam, gerakan dan tata kelola Muhammadiyah yang cukup rapi dari tingkat pusat sampai dengan ranting yang dimulai sejak organisasi ini berdiri.

Dari beragama AUM yang sedang menggurita dibanyak tempat. Akan terasa sangat penting untuk mengetahui para tokoh yang berada dibalik layar untuk menghidupkan ritme gerakan Muhammadiyah dari masa awal sampai pada abad kedua. Sekaligus mengenal watak dari setiap tokoh yang lahir dari Muhammadiyah meskipun parade organisasinya bersifat kolektif kolegian.  Tokoh tersebut terangkum sebagai berikut[12].

No
Pimpinan
Kultur-Khas Kepemimpinan
1
KH. Ahmad Dahlan
Penggagas Muhammadiyah
2
KH. Ibrahim
Tokoh Pragmatis Progresif
3
H. Muhammad Syuja’
Tokoh PKO dan Organisasi Haji
4
H. Fakhruddin
Tokoh Muballigh dan Penerbitan
5
KH. Hisyam
Tokoh Aksioner Edukatif
6
Kyai Raden Haji Hadjij
Tokoh Ulama Tarjih dan Pandu Muhammadiyah
7
KH. Mas Mansur
Tokoh Revolusioner Progresif
8
Ki Bagus Hadikusumo
Tokoh Pragmatis Revolusioner
9
Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Tokoh Pragmatis Ideologis
10
Prof. DR. Hamka
Ulama Sastrawan-Budayawan Idealis
11
KH. Muhammad Yunus Anis
Tokoh Pragmatis Ideologis
12
KH. Ahmad Badawi
Tokoh Pragmatis Visioner
13
KH. Faqih Usman
Tokoh Pragmatis Moderat
14
KH. Abdur Rozak Fachruddin
Muballigh Visioner Bersahaja
15
H. Djarnawi Hadikusumo
Tokoh Visioner-Aksioner
16
H. Soedarsono Prodjokusumo
Tokoh Perguruan Muhammadiyah
17
H. Mohammad Djindar Tamimy
Tokoh Ideolog Muhammadiyah
18
KH. Ahmad Azhar Basyir, MA
Tokoh Ulama Intelektual
20
Prof. DR. HM. Amien Rais, MA
Tokoh Intelektual Reformis
22
Prof. DR. Ahmad Syafi’i Ma’arif
Tokoh Intelektual Humanis Egaliter
23
Prof. DR. HM. Sirajuddin Syamsuddin, MA
Tokoh Intelektual Humanis

C.      MUHAMMADIYAH DAN WAHABIYAH

Ada hal yang cukup menarik beberapa bulan yang lalu saat Kepala Badan Nasional Penanggulanga Terorisme (BNPT), mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendro Priyono dan Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj yang secara kompak menyatakan bahwa aksi terorisme dan  kekerasan yang melanda negeri ini berakar dari masuknya paham Wahabiyah atau Salafiyah ke Indonesia. Barangkali hal ini bukan karena sesuatu yang kebetulan mengingat ketiganya terlibat dari program deradikalisasi di negeri ini.

Posisi Muhammadiyah yang serba keliru pun merespon lewat Majalah dua mingguan Suara Muhamamdiyah (SM) Edisi No. 1/TH. Ke-97 yang terbit 1-15 januari 2012 dengan tema “Siapa Wahabiy? Isu Di Balik Dewabisasi”. Muhammadiyah bagi kami dianggap serba keliru karena hampir tidak ada fakta yang dapat menjelaskan bahwa ada keterlibatan Muhamamdiyah dalam beragam aksi kekerasan apalagi terorisme. Akan tetapi respon dalam majalah tersebut lebih didasari pada pandangan bahwa selama ini keberadaan Muhammadiyah dipandang membawa gagasan Wahabiy yang notabene berembrio pada pemikiran Kyai Dahlan sebagai pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Jika kemudian terjadi generalisasi aliran Wahabiyah di Indonesia barangkali tidak menutup kemungkinan Muhammadiyah menjadi salah satu tersangka logika kacamata kuda.

Masih dalam majalah SM secara lebih tegas Haedar Nashir dalam artkel “Anatomi Gerakan Wahabiyah” menjelaskan gerakan pemurnian yang dilakukan Waabiy hanya satu sisi atau bagian dari islam secara keseluruhan. Gerakan Wahabi menolak keras sinkretisme kaum sufisme dan tradisional yang  membawa para praktek agama yang bersifat syirik atau politheis. Disamping menggelorakan penegakan tauhid atau monotoisme. Dalam perjalanannya Wahabiy menjadi gerakan militan secara politik setelah bergabung dengan pemimpin Saudi. Gerakan ini pun semakin massif dan tidak hanya memberantas syirik dan bid’ah melainkan juga menghancurkan tempat-tempat yang dikramatkan umat islam. bahkan di irak menimbulkan gejolak konflik dikalangan Syi’ah. 

Logika Muhammadiyah yang dianggap sebagai bagian Wahabiyah tidak karena akar historis yang kemudian terus dilecutkan. Meski fakta di lapangan keberadaan Muhammadiyah masih tetap berkompromi dengan kultur masyarakat Indonesia. Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih memberikan padangan bahwa tajid bukan hanya sekedar mengandung perintah dan larangan melainkan petunjuk. Dan pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah lebih bersifat luas yang didukung gerakan pengembangan. Maka pelebelan negatif terhadap pemurnian justru menimbulkan kesan bahwa keengganan untuk menerima pemurnian akidah. 

Pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah dapat dilihat dua factor yaitu pembaharuan yang bervisi kedepan dan berorienasi kebelakang[13]. Muhammadiyah selain tetap berupaya memurnikan akidah tetapi juga termanifestasi dalam gerakan sosialnya. Muhamamdiyah yang semakin dewasa disadari atau tidak telah menjadi organisasi yang barangkali tidak terbayangkan oleh Kyai Dahlan. Akhirnya, harus ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan Wahabiy, bukan pula Dahlaniyah. Muhammadiyah adalah penganut ajaran Nabi Muhammad yang berlandaskan Al Qur’an dan Al Sunnah.

D.      PERCIKAN GEJOLAK PEMIKIRAN KAUM MUDA MUHAMMADIYAH

Lima dekade terakhir gejolak pemikiran kaum muda di Indonesia kian berkembang secara signifikan yang ditandai dengan berdatangannya pemikir baru. Berkembangnya pemikir muda tersebut juga melanda kalangan Muhammadiyah. Jika dikalangan kaum muda NU lahir embrio pemikiran baru dari kelompok Islam Liberal (JIL), sedangkan di Muhammadiyah terbentuk wadah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Meski pun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, namun secara metodelogi pendekatan yang digunakan JIL dan JIMM hampir sama.

Bangkitnya kelompok dua ini bukan bermaksud untuk memberikan keributan berfikir dikalangan struktur organisasi yang sama-sama yang sudah mapan ini. Melainkan keberadaan mereka hanya untuk memberikan ruang berfikir lebih luas yang selama ini belum mendapatkan tempat di tingkat struktur organisasi. Corak pemikiran kaum muda ini pun mendapat sambutan “kaum liberal” dari kalangan tua. Hal tersebut lebih banyak disadari pada pola “ketidaksetujuan” berfikir kaum muda. Institusi liberal ini pun nampaknya sesuatu yang berlebihan mengingat keberadaan mereka (kaum muda) masih terikat secara structural maupun kultural dengan arus organisasi masing-masing.

Keberadaan JIMM menurut salah seorang mentor JIMM Moeslim Abdurrahman, setidaknya mempunyai 3 pilar[14]. Pertama, hermeneutika sebagai perangkat analisis dalam membongkar banyak realitas baru dalam masyarakat. Kedua, perlunya penggunaan pemanfaatan dan pendekatan ilmu social untuk memotret dan menganalisis persoalan umat islam. Ketiga, the new social movement. Sebagai bentuk proses berteologi yang selama ini lebih menganggap teologi sebagai disiplin ilmu mestinya diubah menjadi gerakan. 

Dengan hadirnya 3 pilar diatas keberadaan JIMM diharapkan menciptakan sekumpulan orang tidak hanya menganggap bahwa ber-Muhammadiyah hanya diselesaikan dengan bekerja shaleh atau beramal shaleh diamal usaha. Melainkan menjadikan diri ber-Muhammadiyah sebagai upaya menghidupkan “rumah intelektual” ditengah arus pemikiran yang kian kompleks. Pola berfikir yang imajinatif ini bukan kemudian menjatuhkan diri pada persoalan yang kontemplatif—jauh dari realitas social tetapi juga memotret secara mendalam terhadap beragam hegemoni lokal dan global yang memposisikan kaum mustah’afin sebagai kegagalan produk masyarakat modern.

JIMM beranggapan bahwa untuk dapat mengubah tingkat kesadaran intelektual orang yang menjadi arus luar hegemoni sekarang ini (sebut; globalisasi) adalah memaksa dan mengkaji ulang semua termasuk yang berkaitan dengan kesadaran teologis apakah berhubungan dengan bentuk praksis new social movement yang tidaknya meliputi 4 hal ; capital on the move, media on the move, people on the move dan gagasan revolusioner[15].

Eksistensi JIMM perlahan mulai meredup ditengah banyaknya serbuan dan tuntutan yang kian beragam; baik dari dalam kalangan Muhamamdiyah yang masih belum memberikan ruang terhadap pemikiran kaum muda Muhammadiyah. Namun setelah meninggalnya Moeslim Abdurrahman beberapa waktu secara perlahan para anggota JIMM kembali merapatkan barisan. Mesikipun kemudian menyebabkan beberapa kaum muda membentuk komunitas sendiri seperti MIM Indigenous School[16]

Gejolak pemikiran kaum muda Muhammadiyah merupakan upaya ijtihad untuk menjawab permasalahan kontemporer yang tidak bisa hanya diselesaikan dengan formalism sruktural-adiministratif. Terlebih beberapa pemikir yang lahir dalam embrio Muhammadiyah kemudian pecah kongsi menjadi 3 aliran[17]. Pertama, aliran puritan. Aliran ini mementingkan Muhammadiyah sebagai identitas yang dikemudian diwakili oleh kelompok tua dan muda yang belajar islam dari timur tengah. Ciri aliran ini lebih menekankan pada bentuk purifikasi dengan memahami al Quran dan Sunnah secara tektual dan mengenyampingkan ilmu-ilmu social dan hermeneutika.

Kedua, aliran liberal. Aliran ini merupakan kelompok yang mengapresiasi prestasi yang dicapai Muhammadiyah dan tidak hanya mementingkan identitas belaka. Penggunaan ilmu social dan hermeneutika menemukan ruang dalam aliran ini disamping berkeinginan mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid agar tetap berkontribusi pada permasalah kontemporer ditengah mulai kakunya gerakan Muhammadiyah karena masalah procedural-administratif. Aliran ini kemudian erat dengan kaum muda Muhammadiyah. Ketiga, aliran dekonstruksi. Aliran yang mengangggap bahwa Muhammadiyah mempunyai solidaritas tinggi seperti yang dilakukan Kyai Dahlan. Mereka berpandangan bahwa Muhammadiyah saat ini sudah seperti ide awal didirikannya yang pro kaum marginal. Muhammadiyah cenderung kapitalistik dengan kekuatan AUM-nya. Pendekatan kelompok ini menggunakan metode Karl Marx yang lahir dari kaum santri yang belajar keagamaan dari barat serta agamawan yang mengenal teori Marx.  

JIMM berada dalam posisi aliran kedua. Sedangkan MIM Indigenous School secara terang-terangan berada di dua arus liberal dan dekonstruktif[18]. Arus ketegangan pemikiran dikalangan anak Muhammadiyah yang kadang tidak menemukan kursi di struktur pimpinan Muhammadiyah ternyata berhasil membuat celah evaluasi-reflektif bahwa sudah saatnya Muhammadiyah tidak hanya mengedepankan gerakan amal usaha melainkan keberpihakan pada kaum mustadh’afin seperti sejak organisasi ini didirikan []

By. Cak Makrus (Senior IMM UMY-cakmakrus.blogspot.com)


[1] Makhrus Ahmadi, Kader PC IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta dan mantan Sekretaris Umum DPD IMM DIY. Tukang celoteh di blog pribadinya cakmakrus.blogspot.com
[2] LPI PP Muhammadiyah. Profil 1 Abad Muhammadiyah. Yogyakarta. PP. Muhammadiyah. 2010. Hal. 12
[3] Ibid. Profil. Hal. 12
[4] Ibid. Profil. Hal. 13
[5] Salah satunya piano yang dapat kita saksikan dalam film “Sang Pencerah” (2010). Film yang dibintangi Lukman Sardi dan disutradarai Hanung Bramantyo ini menceritakan perjalanan hidup Kyai Dahlan dalam melakukan pembaharuan dan mendirikan Muhammadiyah.
[6] LPI. Profil. Hal. 14
[7] Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB III Pasal 6
[8] Mustafa Kamal Pasha dkk. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid. Yogyakarta. Citra Karsa Mandiri. 2003. Hal. 81-83
[10] Hilman Latief. Melayani Umat Folantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal. 19
[11] Ibid. Melayani. Hal 85
[12] LPI. Profil. Hal. 12-55
[13] Hilman. Melayani. Hal. 96-97
[14] Moeslim Abdurrahman. Islam Yang Memihak. Yogyakarta. LKiS. 2005. Hal. 170-175
[15] Ibid. Islam. hal. 174
[16] Madrasah Intelektual Muhammadiyah (MIM) Indigenous School lahir jauh dengan lahirnya JIMM yakni sekitar rentang 2003-2004. Meskipun tidak sefenominal JIMM keberadaan komunitas ini juga mempunyai pengaruh terhadap kaum muda Muhammadiyah (khususnya di Yogyakarta) dengan beberapa produk pemikirannya. 
[17] M. Abdul Halim Sani. Manifesto Gerakan Intelektual Propetik. Yogyakarta. Samudera Biru. 2011. Hal 88-89
[18] Ketimpangan struktur social di Indonesia merupakan sebuah ironi bagi umat islam Indonesia. Di satu sisi mereka menjalankan perintah Allah dengan melaksanakan ritual keagamaan. Tetapi disisi lain mereka justru membangun dan membiarkan struktur social yang tidak memihak kaum mustadh’afin...secara akar historis Kyai Haji Ahmad Dahlan telah mempelopori tradisi kritis  dalam memahami islam dengan menggugat konvensional agama.. Cehar Mirza (ed) ”Rahim Perjuangan Catatan Kecil Mahasiswa Yang Rindu Perubahan”. Yogyakarta. MIM Press. 2009. Hal, 57

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot