Selasa, 08 Januari 2013

Bedakan Dirimu



Gajah dikejar karena gadingnya, harimau ditangkap karena belangnya, badak diburu karena culanya. Sapi itu mahal karena dagingnya, cenderawasih itu mahal karena bulunya. Nah, perkutut juga mahal, tetapi dagingnya lebih banyak daging sapi, bulunya lebih indah bulu cenderawasih, namun perkutut itu mahal. Kenapa?. Iya, perkutut mahal bukan karena dagingnya, perkutut mahal bukan karena bulunya, tetapi perkutut mahal karena suaranya. Lantas siapa manusia yang paling mahal?. Tentu manusia yang punya ilmu dan imannya.

Posisi ilmulah yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan yang lain. Ilmulah yang selalu menuntun hidup manusia ke arah yang lebih baik. Zaman terus berubah, ilmu terus bertambah, itulah seharusnya prinsip manusia. Coba perhatikan ayam! Turun temurun profesi mereka cuma satu, yaitu “nyeker” tanah untuk cari makan. Timbul pertanyaan? Kenapa ayam tidak jadi pengusaha saja, PNS saja, guru saja, da'i saja, penulis saja, pejabat saja dan sederet profesi lainnya. Jawaban yang paling tepat adalah, karena ayam tidak punya ilmu.

Lantas kalau bukan ilmu yang kita miliki, apa yang mau kita banggakan lainnya?. Jika bukan ilmu yang kita punya, apa yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan seperti ayam tadi. Apakah kita mau membanggakan daging pada tubuh kita?. Ingatlah, sebanyak apapun daging yang melekat pada tubuh kita, kalau kita jual “saya rasa” pastilah lebih mahal daging sapi. Apakah kita mau membanggakan bulu kita?, saya ulangi bulu kita? Bulu kita?. Siapa yang mau beli bulu kita. Sebanyak apapuan bulu yang kita miliki, pasti bulu cenderawasih lebih indah dan menawan. Bulu ayam bisa dijadikan alat untuk pembersih debu, bulu ijok bisa dijadikan sapu, bulu burung dipakai oleh suku dayak. Tetapi bulu kita? Siapa yang mau beli?. Jawab dalam hati.

Harga manusia ada pada ilmu. Semakin banyak ilmu seseorang maka semakin berhargalah ia. Semakin sedikit ilmu seseorang maka semakin murahlah harga dirinya. Bila kita punya sebatang emas -kira-kira sebesar jempol-, emas itu kita masukkan ke dalam laci lemari, lalu laci kita kunci. Lalu tutup lemari, lemari pun di kunci. Lalu pintu kamar di tutup, lalu di kunci. Lalu ke luar rumah, pintu juga di kunci. Lalu ke luar pintu gerbang rumah, gerbang juga di kunci. Lihatlah, kita hanya punya sebatang emas, ukurannya hanya sebesar jempol. Akan tetapi berapa kali kita kunci hanya untuk mengamankan emas yang kita punya.

Perhatikan harta yang kita miliki! Lihatlah harta itu, lihatlah dengan seksama! Harta, hari ini milik kita, besok milik orang. Hari ini harta itu dalam saku kita, namun lusa dalam saku orang. Hari ini harta itu ditangan kita, besok ditangan orang. Hari ini harta itu di tas kita, namun minggu depan di tas orang. Hari ini gaji kita, tapi besok gaji orang. Hari ini jabatan itu milik kita, besok milik orang. Hari ini orang itu milik kita, jangan-jangan lusa juga punya orang. Tapi ilmu, selalu berada bersama kita dan menuntun kita untuk kebahagian dunia dan akhirat.

Pantaslah ada kata-kata bijak -sebagian orang menganggap hadist- :”Jika kamu ingin bahagia dunia maka dengan ilmu, jika kamu ingin bahagia akhirat maka raihlah dengan ilmu, jika kamu ingin bahagia pada dunia dan akhirat maka capailah dengan ilmu”. Interpretasi saya terhadap kata hikmah ini adalah, surga hanya menampung semua orang-orang pintar, bukan orang-orang bodoh. Orang-orang bodoh hanya layak di neraka, sedangkan orang-orang pintar layak di surga untuk mendampingi para Nabi dan seluruh para sahabat, para ulama dan beserta orang-orang yang syahid.

Oleh karena itu, masih malaskah kita dengan ilmu?. Maukah kita bila disejajarkan derajat dengan makhluk Tuhan yang lain (misal: ayam)?. Jika tidak, maka ilmu adalah solusinya. Hanya dengan ilmu kita bisa mengubah dunia, hanya dengan ilmu kita bisa mengubah masa depan kita. Tapi bila tidak kita miliki, jangan harap masa depan menjadi indah, kita kan terus dengan masalah tanpa ada berkah. Sungguh beruntung orang-orang yang hidup bersama ilmu. Berkiblatlah pada tokoh Islam, begitu gemarnya menuntut ilmu. Sebut saja, Imam Bukhari beliau rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencari sebuah hadist.  Tetapi kita, zaman serba mudah, jarak rumah dengan kampus hanya beberapa meter saja, tetapi kenapa kita malas mencari ilmu?. Bandingkan dengan perjuangan Imam Bukhari. Ayo hadiri diskusi, rajin membaca, suka mendengar, itulah syarat dalam mencari ilmu. Ilmu selalu terdepan!. Wallahu'alam.

oleh: Adnan Nasution Al-Achehi (Kpi Umy 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot