Selasa, 01 Januari 2013

Pengaruh Konvergensi Media terhadap Sistem Demokrasi di Indonesia


Indonesia merupakan negara demokrasi. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata demokrasi mempunyai arti (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Atau bisa juga berarti gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.  Sudah tidak asing lagi di telinga kita bahwa prinsip demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Literatur sejarah mengatakan bahwa setelah rezim Suharto, Indonesia baru merasakan demokrasi yang sebenarnya. Karena setelah Suharto turun Pers mulai diberi kebebasan. Tidak seperti dulu, pers harus berhati-hati dalam memberitakan ke publik. Karena jika sedikit saja berita yang dipublikasikan mengkritisi pemerintah, maka keberlangsungan pers akan terancam dicabut. Rakyat diberi ruang untuk mengeluarkan aspirasinya untuk pembangunan bangsa Indonesia. Rakyat juga berhak mengetahui hal-hal yang selayaknya dipublikasikan ke umum. Dan berhak pula mengkritisi atau mengontrol jalannya pemerintahan.

Ada empat pilar demokrasi, yaitu yudikatif, eksekutif, legislatif dan pers. Pertama, yudikatif merupakan badan yang mengadili perkara (contohnya, Jaksa Agung). Kedua, eksekutif yaitu badan yang menjalankan pemerintahan baik daerah, wilayah maupun negara (contoh presiden, walikota, bupati, kepala desa). Ketiga, legislatif yaitu badan yang merancang Undang-Undang dan menampung aspirasi rakyat dalam turut serta pembentukan Undang-Undang (contohnya DPR). Dan keempat, pers yaitu penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio dan televisi.

Jika kita lihat realitanya, ketiga pilar demokrasi yang sering kita sebut sebagai trias politika sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Para anggota eksekutif banyak yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Para anggota legislatif yang seharusnya mendengarkan suara rakyat, sekarang beralih mendengarkan suara para pemilik modal. Dan ironisnya, anggota yudikatif sendiri hanya mengadili orang yang tidak memiliki uang meskipun kesalahannya hanya mencuri ayam. Ketimbang mengadili orang yang korupsi miliaran tetapi duduk di jabatan atas.

Ditambah lagi dengan majunya peradaban yang ditandai dengan munculnya konvergensi media. Dimana salah satu individu atau sekelompok orang menguasai berbagai media yang disebut dengan “konglomerasi media”. Misalkan seorang pemiliki modal memiliki memiliki stasiun televisi, radio, dan media surat kabar baik secara manual maupun on line. 

Jika kita amati, ada empat orang di Indonesia yang sudah mempunyai konvergensi media yang semuanya saling berebut pengaruh terhadap publik. Keempat orang tersebut adalah Surya Palo sebagai pemilik stasiun TV (MetroTV) dan surat kabar. Cahirul Tanjung sebagai pemilik stasiun televisi (TransTV) dan media on line yang cukup berpengaruh di masyarakat. Sementara Abu rizal Bakrie memiliki stasiun televisi Tvone dan portal berita on line. Sedangkan Herry Tanoesoedibjo lengkap memiliki stasiun televisi (MNCTV, RCTI dan GLOBAL), Surat kabar, majalah, media on line dan radio.

Akibat kebebasan yang diberikan pemerintah terhadap pers, muncullah pemilik modal yang berlomba-lomba untuk menguasai media dan mempengaruhi isu publik. Karena dengan isu yang diberitakan melalui media, maka akan terbentuk isu publik yang bisa mempengaruhi masyarakat dalam mempersepsi fenomena yang terjadi di negaranya. Kemajuan tekhnologi dalam bidang informasi khususnya dalam hal konvergensi media tentunya mempunyai dampak positif dan dampak negatif.

Dampak positif dari konvergensi media yaitu mudahnya informasi yang didapat dengan berbagai tampilan yang menarik sesuai dengan selera pembaca (publik). Kita bisa dengan mudah tanpa mendapatkan informasi tanpa harus mengeluarkan biaya. Namun konvergensi media juga sangat berbahaya bagi sistem demokrasi khususnya di Indonesia. Karena para pemilik media di Indonesia juga termasuk orang yang berada di jajaran pemerintah.

Oleh karena itu, hal ini sangat berbahaya terhadap hak asasi masyarakat bawah. Sebab berita yang dipublikasikan tidak lagi berada di posisi rakyat, tetapi berpihak di posisi sang pemilik modal atau pemilik media yang dalam hal ini juga termasuk jajaran pemerintah. Kita bisa dari konten yang diberitakan di televisi maupun surat kabar yang dimiliki satu orang maka kontennya pun sama. Yaitu sama-sama yang mendukung kepentingan para pemilik media. Hanya cara pengemasan beritanya saja yang berbeda. Dengan kata lain, bahwa media sekarang berada  di pihak pemerintah (pejabat negara).

Dalam Kode Etik Jurnalistik, pers atau media pemberitaan hendaknya berpihak kepada kepentingan rakyat (publik). Namun nampaknya hal itu sudah banyak terjadi penyimpangan. Sungguh ironis negara ini krisis akan kebebasan demokrasi. Setelah rusaknya ketiga pilar demokrasi (trias politika), ditambah lagi dengan kritisnya kondisi pers sekarang sesudah munculnya konvergensi media.

by. Sartini (Kpi Umy 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot