Konsep
manusia dalam islam sangatlah jelas, dalam islam manusia di tempatkan sebagai
abdi Tuhan yang diutus untuk mengurus dan mengelola alam semesta-sebagai
ciptaan Tuhan. Manusia di percaya sebagai makhluk merdeka dan mendapat
kedudukan yang terhormat. Dalam kitab Al-Quran, manusia di berikan kebebasan
untuk mengolah esensi dirinya sendiri, memikirkan kedudukannya dalam system
realitas sehingga ia mampu menempati tempat sesuai dengan keberadaan
kemanusiaannya
Berbeda
dengan konsep manusia yang di utarakan oleh barat pada abad pertengahan yang di
dominasi oleh pemikiran Yunani yang kental dengan mitologi. Manusia dipandang
sebagai makhluk rendahan, manusia hanya sebuah pengganggu para Dewa, manusia
adalah saingan para Dewa sehingga tak jarang Dewa dianggap iri hati dan
keberadaan manusia semakin terancam dengan adanya Dewa. Karena di era itu,
mereka memercayai banyak Dewa dan para Dewa lah yang memegang dominasi sehingga
manusia di bawah belenggu para Dewa.
Seiring
berkembangnya waktu, rasa ketidakpuasaan muncul seiring datangnya pemikiran
bahwa manusia adalah pusat segalanya sehingga manusia perlahan meninggalkan
paham keagamaan seperti itu karena manusia memandang bahwa Dewa-Dewa hanyalah
mitos dan Dewa-Dewa tidaklah revolusioner. Manusia dipandang berhak menentukan
nasibnya sendiri, menentukan kebenaran atas dirinya dan manusia tidak
membutuhkan para Dewa sekaligus kitab-kitab suci.
Paham
rasionalitas itulah yang akhirnya melahirkan Renaisens, yaitu suatu gerakan
kebangkitan-kembali manusia dari keterpurukan mitologi dan belenggu
dogma-dogma. Visi dari gerakan ini adalah mengembalikan lagi kedaulatan manusia
yang selama berabad-abad telah dirampas oleh para Dewa dan mitologi yang
mengungkung nasibnya. Konsep kehidupan berpusat pada manusia, bukan Tuhan, dan
manusia haruslah menguasai alam semesta. Melalui filsafat rasionalisme, gerakan
ini telah melahirkan revolusi paham keagamaan bahwa manusia adalah makhluk
merdeka. Namun gerakan Renaisens ini di ciderai oleh budaya modern, yang dimana
manusia tidak lagi menjadi sebuah pusat, namun manusia hanya menjadi elemen
terkecil dari teknologi. Manusia dalam masyarakat modern tak lebih hanya
sebagai unsur terkecil dalam sistem yang besar.
Dalam
filsafat yunani dan romawi, di gambarkan bahwa manusia tidak memiliki
kecerdasan. Manusia di pandang sebagai makhluk rendah sehingga di perlukan Dewa
untuk menuntun manusia berfikir. Dalam filsafat Kristen manusia juga amat
sangat di pandang rendah, manusia sejatinya adalah makhluk pendosa. Fithrah
manusia adalah busuk sejak lahir, sehingga membutuhkan Sang Penebus Dosa. Maka
dalam filsafat Kristen, Tuhan lah yang menebus dosa mereka sehingga mereka
terbebas dari kungkungan dosa. Kedua konsep ini jelas lah merupakan paham yang
tidak futuristic dan malah terkesan fatalistic.
Kembali
kepada konsep islam tentang manusia. Dalam islam di sebutkan bahwa manusia
adalah khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan
di muka bumi yang berhak mengatur dan mengelola bumi ini. Manusia, dalam sebuah
ayat di dalam Al-Qur`an, disebutkan mengadakan perjanjian dengan Allah ketika
masih dalam Rahim yaitu berupa pengakuan ke-Illahi-an Allah SWT, sehingga
manusia tidak berpaling dari Allah karena manusia adalah abdi Allah. Sebegitu
pentingnya posisi manusia dalam islam, manusia adalah tangan kanan dari Allah.
Dan ini berbeda dengan paham animisme bahwa manusia adalah bagian alam semesta
bahkan lebih rendah dari alam semesta (menyembah alam semesta).
Karena
Allah adalah pencipta alam raya dan manusia adalah abdi-Nya, maka manusia di
beri kepercayaan apakah ia mampu memelihara alam ciptaannya ini menjadi lebih
baik sehingga manusia di tuntut untuk berfikir dan berusaha. Sebagai abdi dari
penguasa langit dan bumi, manusia dalam perjanjiannya untuk meminta pertolongan
hanya kepada Allah semata ketika ia mengalami kesulitan. Tentu, di balik
manusia itu sendiri adalah sebuah “kekuatan” besar.
Dalam
surat Ali-Imran ayat 110, Allah berfirman sebagai sebuah seruan kepada
khalifahnya di muka bumi, yang berbunyi :
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ......
Artinya :
“Engkau adalah
ummat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan,
mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah…”
Telah jelas di ayat itu kita dalah ummat terbaik yang
diutus oleh Allah untuk mengabdi ditengah-tengah manusia. Menurut kuntowijoyo,
ayat tersebut mengandung arti Humanisasi, Liberasi dan Transendensi, sebuah
cita-cita profetik yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita
sosio-etiknya pada masa depan.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia, dimana
manusia pada era modern ini mengalami dehumanisasi karena ketergantungan manusia
pada teknologi sehingga menjadikan sebagai makhluk abstrak tanpa jiwa
kemanusiaan. Manusia hanya sebuah unsur kecil dalam sistem yang besar. Tujuan
dari liberasi sendiri adalah membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan,
kekejaman teknologi, keangkuhan penindas yang harapannya kita peduli dengan
kaum mustadlafin, faqir dan miskin. Sedangkan misi transendensi adalah ketika
kita telah menyerah dengan budaya hedonisme, meterialisme dan budaya yang
merampas ketenangan manusia, kita ingin kembali kedalam fithrah manusia,
menikmati suasana tanpa batas ruang-waktu ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan
dan menikmati alam raya ini sebagai ciptaan Tuhan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang bergerak dalam 3
(tiga) ranah, Keagamaan, Kemahasiswaan dan Kemasyarakatan, dalam kelahirannya
disebutkan bahwa factor ekternal di dirikannya IMM adalah sebagai upaya
pemurnian aqidah ummat islam umumnya dan mahasiswa islam khususnya, yang saat
itu masih kental dengan budaya bid`ah, takhayul dan khurafat yang mengganggu
kemurnian ajaran islam. Kepercayaan terhadap benda-benda keramat seperi pohon,
keris, cincin, batu, kuburan dll masih mengakar kuat. Kepercayaan terhadap
ramalan-ramalan, wejangan dukun dll masih membudaya. Fenomena tersebut adalah
imbas dari keterbelakangan dan kebodohan. Parahnya lagi, acaman komunisme yang
menyerang ideologi banyak di gandrungi oleh mahasiswa muslim pada jaman itu.
Sebagai kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sudah
seyogyanya kita sadar bahwa kita adalah ummat terbaik utusan Allah untuk
mengelola muka bumi ini. Kita adalah khalifah Allah, kita adalah makhluk
terbaik, kita sebagai hamba dengan segala potensi (ruh suci, akal dan
iradahnya) yang dititipkan oleh Allah, Untuk memahami itu semua dibutuhkan
sebuah kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif diharapkan tidak hanya terjadi
dalam sebuah level tertentu sehingga pada akhirnya kesadaran kolektif membawa
pada kesadaran structural, sehingga apa yang dikerjakan oleh kader IMM bernilai
perjuangan dan ibadah.
Billahi
fii sabilil haq, fatabiqul khoirot.
Oleh: Immawan Alief Yoga Dhiyaul Haq (Kader IMM FAI UMY)
Daftar bacaan :
1.
Noor Chozin Agam, 1997, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta. Penerbit Pers PERKASA dan Dikdasmen
PP Muhammadiyah
2.
Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam, intepretasi untuk aksi. Bandung. Penerbit Mizan.
3.
Makhrus Ahmadi dan Aminudin Anwar, 2014,
Genealogi Kaum Merah, pemikiran dan
gerakan. Yogyakarta. MIM Indigenous School dan Rangkang Education
4.
Rijal Ramdani, 2015, Merumuskan Profil Kader Ikatan ; Menuju
Indonesia Berperadaban Islam. Makalah disampaikan pada Darur Arqam Madya PC
IMM AR Fachruddin Kota Yogyakarta di Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta,