Senin, 18 Februari 2013

Pencuri




Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil keputusan , saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.
Tetapi karena tiba-tiba menjadi simbol kebijaksanaan , karena telah dinobatkan menjadi orang baik, hidupnya jadi susah. Setiap ada kabar ia dapat rejeki misalnya, pasti sudah ada orang datang mengaku sedang kesusahan dan pinjam uang yang pada akhirnya tidak dikembalikan.
Juga selalu orang datang dengan tak malu-malu mengadukan nasibnya, seakan-akan tetangga saya itu biro konsultasi. Tak ada orang yang teringat bahwa tetangga saya itu juga manusia biasa yang punya kesusahan, yang juga punya problem sendiri yang tak kalah dasyatnya.
Karena yakin bahwa tetangga saya itu baik dan bisa mengerti serta memaafkan, lama-lama orang mulai kurang ajar padanya. Mereka memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka jadikan tetangga saya bulan-bulanan , olok-olok , dan tiba-tiba saja tak terasa ia sudah menjadi simbol kebodohan. 
Semua orang memperlakukannya tidak sebagai manusia lagi, tetapi sebagai permainan. Tak  jelas apakah karena tidak sengaja , atau akibat dari kebencian mereka melihat, kok masih ada juga orang yang begitu baik di dunia ini. Boleh jadi orang-orang sebenarnya  marah karena kebijaksanaannya itu kadangkala diam-diam terasa menghina mereka.

Pada suatu hari seorang pencuri datang. Karena percaya kepada kebaikan tetangga saya, pencuri itu melaksanakan hajatnya dengan ceroboh. Ia pikir paling banter kalau ketahuan, tetangga saya hanya kan manggut-manggut mengerti lantas membicarakannya bukan sebagai perbuatan  kriminal, tetapi  akibat dari tekanan batin seseorang manusia yang sedang mencari dirinya, walhasil kenakalan remaja biasa.

Tapi kemudian apa yang terjadi, di luar dugaan. Kebetulan pencuri itu tertangkap oleh tetangga yang lain. Ia digebuk habis-habisan, kemudian setelah lecet, dibawa ke depan tetangga saya yang baik itu.

Saya sendiri yang sempat ikut mendorong kepalan saya menghajar pencuri itu, dengan alasan kebencian yang entah dari mana datangnya dan ikut menarik pencuri itu. Saya tiba-tiba berdo’a mudah-mudahan tetangga saya jangan bijaksana lagi, jangan baik hati lagi. Satu pukulan pun cukup. Biarlah sekali ini ia jadi orang yang biasa saja, agar pencuri itu menyadari dosanya lalu kapok. Itu baik saya kira, untuk ketertiban di masa datang , supaya nilai-nilai tidak kacau.

Pencuri adalah pencuri. Dia harus dihukum.

Tetapi bagaimana sudah kami duga , tetangga saya itu , memandang pencuri itu dengan tenang. Kemudian sama sekali tanpa emosi dia berkata:

“Saya tidak kenal saudara. Tapi sekarang kita jadi berkenalan. Saya hanya ingin bertanya . Apa maksud saudara sebenarnya?”

Pencuri itu menundukkan mukanya. Karena tak menduga akan diajak berdiskusi seperti itu. Biasanya kalau tertangkap ia hanya langsung dipukul.

Pertanyaan tetangga saya itu membuat kami terlalu lemah. Sehingga kami ingin tertawa. Tetapi kami tidak boleh menunjukkan keramahan di depan seorang bromocorah yang sudah kropos moralnya. Kami mengguncang tubuh pencuri itu sambil menghardik.

“Jawab ba*g**t!!!!

Pencuri itu gemetar. Tetangga saya langsung menepuk-nepuk pundaknya , sambil memberi isyarat  pada kami supaya tenang.

“He Mas, siapa sih namanya? Apa saudara memang mau mencuri atau hanya ingin meminjam atau meminta barang-barang saya?”

Kami tak bisa menahan tertawa. Tetapi setelah tertawa kami berteriak lagi.

“Jawab ba****an!!!!!”

Tetangga saya kembali menenangkan kami.

“Coba biarkan ia menjawab. Berikan dia kesempatan berdialog dengan kita menyampaikan isi hatinya.  Sebenarnya saudara mau apa? Saudara mau pinjam barang-barang saya? Kalau iya, saudara harus mengatakannya , terus terang . Kalau memang saya mampu , ya pasti saya bantu, pasti akan saya berikan. Tapi kalau saudara ingin mencurinya saja, aneh juga, kalau mau mencuri , mengapa saya atau orang lain sampai tahu. Kalau sampai ketahuan namanya  bukan mencuri lagi.”

Kami semua berteriak histeris karena merasa lucu. Kami mulai mengerti arti sindiran tetangga saya itu. Lalu kami mencoba mengikutinya . Kami tidak berteriak – teriak lagi. Tapi kami masih terus mencekal pencuri itu erat-erat.

“Lho, benar ‘kan?’ lanjut tetangga saya yang baik itu. “ Kalau mau maling, agak pintar dong sedikit. Kalau orang lain tahu, bagaimana anda akan bisa berhasil  mencurinya? Atau mungkin anda mau merampok? Artinya merampas sesuatu dari saya  dengan kekerasan? Kalau begitu kenapa saudara tidak memancing saya supaya  anda bisa melakukan kekerasan?”

Kami semua menahan tertawa. Tapi pencuri itu tambah menundukkan mukanya.

“Lain kali mbok tentukan dulu sebelumnya supaya jangan membingungkan kita. Anda ini mau mencuri atau merampok. Kalau mau mencuri , tapi kurang tahu bagaimana caranya, ya nanti kita bantu sebisa-bisanya. Ya “Kan?”

Tetangga saya bertanya kepada kami semua. Kami langsung menjawab.

“Betul!”

“Nah, saya sendiri bisa kasih tahu,mana pintu yang biasanya tidak dikunci. Di mana kami biasa menyimpan uang tunai dan barang-barang berharga. Bukan di almari itu. Juga bukan di bawah kasur. Kami punya tempat menyimpan sendiri. Bahkan kalau anda memintanya , supaya mudah , kami bisa atur supaya  meletakkan uang dan barang-barang itu di atas meja saja, jadi gampang mengambilnya. Atau saudara ingin saya mengirimkan saja? Mana  dong alamatnya? Anda dari mana? Siapa nama anda? Atau jelaskan saja kepada siapa mesti dititipkan. Ya tidak?”

Kami tak mampu lagi tertawa. Sementara muka pencuri itu semakin tunduk. Lehernya semakin pendek  seperti penyu yang ingin berlindung ke dalam tubuhnya.

“Lho, benar tidak? Asal mau terus terang saja. Ya kalau tujuannya merampok, ya lain lagi. Langsung saja masuk. Tidak usah menunggu kami tidur atau rumah kosong. Sebab kalau tidak ada siapa-siapa itu bukan merampok. Rampok itu ya merebut  dengan kekerasan begitu. Saudara masuk saja bawa golok atau pistol, bahkan pistol-pistolan pun jadi, sebab pasti kami tidak akan punya waktu untuk memeriksa itu pistol asli atau mainan. Gertak saja kami. Kami lebih suka hidup damai, hina pun jadi daripada mati. Saya lebih senang hidup daripada berkelahi. Saya ‘kan tidak pernah berkelahi sejak kecil. Saya ini, meskipun badan besar seperti ini, nyali saya kecil. Saya seorang pengecut. Kalau saudara gertak sedikit saja , saya sudah terkencing-kencing.”

Orang-orang bersorak. Ada yang bersiut.

“Nah nanti, kalau kami sudah ketakutan begitu tinggal ambil saja semuanya. Pokoknya demi keselamatan , apa saja akan kami serahkan , asal bukan nyawa kami. Begitu. Jadi ‘kan mudah? Mengapa susah-susah . Anda ini mau mencuri atau merampok sebenarnya?”

Tetangga saya menyentuh pundak pencuri itu. Orang itu terkejut. Badannya gemetar. Lalu celananya basah. Rupanya ia ketakutan . Semua orang tertawa cekaka’an. Ada wanita sampai terkencing-kencing karena geli.

“Tidak usah malu-malu. Jangan takut. Terus terang saja. Kita bantu kok,” lanjut tetangga saya itu.” Anda ini mencuri atau merampok, sebetulnya untuk keperluan apa? Mau menikah? Mau menikah lagi? Mau sekedar tambahan beli rokok dan beli jaket kulit yang ada tulisan metal itu? Mau dapat uang banyak untuk bersenang-senang, buat judi atau cari perempuan nakal begitu? Untuk apa sebetulnya? Untuk membeli buku dan pakaian seragam serta membayar uang sekolah anak-anak? Bayar utang? Atau hanya iseng saja, karena kebetulan rumah saya gampang dimasuki, karena anda dengar kemaren istri saya baru saja menerima uang arisan. Begitu? Atau karena ini sudah jadi penyakit, kebiasaan begitu. Yang mana? Coba terus terang saja, biar jelas yang mana?

Tetangga saya menyentuh dagu orang itu. Lalu mengangkatnya perlahan-lahan.

“Bagaimana? Terus terang , boleh kita berunding dulu biar sip. Ya ‘kan?! Malu? Jangan-jangan di sekitar di sini ada anak kamu barangkali. Betul? Kasihan juga, Jangan sampai.”

Ia mendongakkan muka pencuri itu. Tiba-tiba kami semua terdiam. Kami semua terkejut. Muka pencuri itu jadi kebiru-biruan dan cekung. Bola matanya seperti  terperosok ke dalam. Kami semua terperanjat. Ia sudah tidak bernyawa.

Rangkuman dari buku yang berjudul “Protes” karya  Putu Wijaya.

By. Immawati Eka Nur A. (Pai Umy 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot