Mengelola diri menuju semangat (ghirah) berislam merupakan perjuangan keras. Mengendalikan diri yang penuh gelora dan vitalitas itu agar tunduk kepada Allah tidak mudah dan tidak sederhana. Alasan kita dihadapkan dengan dua kenyataan yang antagonistik adalah hal yang mendasar sebagai manusia dan hamba Allah. Di satu sisi kita ingin menjadi baik, tetapi di sisi lain syaitan pun berusaha membelokkan dan menyesatkan ke jalan sesat dan maksiat. Inilah yang sering dirasakan sebagai pertarungan dan pertentangan yang berat.
Bagaimana dengan kita? semakin kita kalah dengan godaan pada usia
muda, seperti itulah akhir kehidupan kita. Sebaliknya, semakin sering kita
berhasil menghadapi berbagai godaan, demikian itulah akhir kehidupan kita.
Marilah sejenak memaknai kembali keislaman kita. Sungguh miris
istilah “Islam KTP” yang sangat booming akhir-akhir ini menjadi predikat untuk
status keislaman kita. Yang berarti keislaman kita hanya dianggap tidak lebih
sekedar formalitas pelengkap administrasi sebagai warga Negara. Tentu kita
ingin menyandanng status tersebut, bukan? Pilihan kita jatuh pada Islam apakah
karena nenek moyang kita beragama Islam (tradisionalitas)? atau hasil dari
pencarian kritis kita (rasionalitas)? Ketika seseorang menyatakan diri sebagai
seorang muslim, maka banyak tanggung jawab yang harus dipikul, dan di balik
tanggung jawab itu tersimpan konsekuensi yang menguji kebenaran Islam di hati
kita.
Ghirah
Ghirah artinya semangat; melindungi; membela. Dalam bahasa
Indonesia sering disebut gairah. Kaitannya dengan Islam arti ghirah adalah
“gereget” atau semangat membela Islam. Halnya yang kita ketahui bahwa seseorang
yang bersemangat dalam hidupnya adalah seorang yang tidak mengenal rasa lelah, bergaul
dengan lingkungan yang senantiasa akan mendekatkan pada Allah, ia berusaha
dalam memakasimalkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat, ia adalah penebar
kebaikan, teratur dalam suatu urusan dan sangat dimungkinkan secara fisik ia
tak lepas dari senyum, wajahnya ceria, langkah ia berjalan berirama dan tegak,
bukan jalan santai saat bertamasya.
Ghirah seseorang akan muncul dan dirasakan jika ia merasa memiliki,
percaya diri, dan berkeinginan kuat untuk membela hingga tak ingin sesuatu
menodai bahkan merusak objeknya. Ghirah dalam berislam diawali rasa kecintaan
yang menggelora kepada penyampai Risalah, ajaran-ajarannya, dan semangat
menebar kebaikan dimana pun ia berada demi terciptanya keindahan Islam yang
sebenarnya. Setiap hembusan nafas dan langkahnya selalu ia libatkan Allah swt.
adalah bukti kecintaan dan gairahnya sebagai kekuatan dalam memperjuangkan apa
yang ia emban, sebagai Muslim.
Jika kita telisik lagi bagaimana totalitas umat Islam terhadap
Islam sendiri saat ini sangat minim. Menipisnya
ghirah di hati umat Muslim umumnya akibat dari gaya hidup yang hedonis, atau
mempertuhankan kekayaan, cenderung memburu materi, kekayaan menjadi bahan untuk
dipamerkan. Selain itu yang tak kalah mengimbasinya adalah terbiasa dengan
lingkungan yang menghalalkan hal-hal yang sebenaranya haram, acuh tak acuh
terhadap lingkungan, bahkan bisa jadi karena takut dituduh golongan ekstrim dan
membela teroris.
Isyhad bianna Muslimuun!
Keindahan Islam (The Beauty of Islam) itu sangat luar biasa
dan mengagumkan. Berbagi, saling mendo’akan dan saling menyayangi dengan sesama,
hubungan antara lawan jenis, berbagai aspek ibadah yang berdampak positif pada
sosial, kesehatan, dll adalah sedikitnya bagian dari keindahan yang dapat
dirasakan saat benar-benar terjun pada kedalaman Islam.
Kalau pun ada salah dalam implementasi dan aplikasi di lapangan (politik,
hukum, etika, bisnis, dan lainnya) adalah pemeluknya, bukan agamanya. Muhammad
Abduh menilai: “Al-Islamu Mahjubun bil Muslimun”, Islam itu tertutup
oleh kelakuan umat Islam sendiri. Kita dapat artikan bahwa kesempurnaan dan
kemuliaan ajaran Islam itu tertutup oleh akhlak, kelakuan, kata-kata kaum
Muslim sendiri yang sering tidak menunjukkan bahwa Islam sebenarnya sudah
mempunyai ajaran-ajaran khusus untuk segala aspek kehidupan. Maka tidak ada
alasan bagi kita untuk segera memantapkan terjunnya kita di dalam Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang
nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Begitu Allah tidak menginginkan hambanya berpegang pada Islam yang
hanya setengah-setengah. Bagaimana pun genggaman Islam di hati kita harus
secara keseluruhan. Menunjukkan jati diri sebagai seorang Muslim perlu lah
ditonjolkan, berpakaian syar’i, berakhlak santun, adalah cara yang dapat
ditempuh untuk memperkenalkan kita sebagai seorang Muslim. Teringat guru
Kemuhammadiyahan saya saat SMA, Bapak Iwan Setiawan berpesan, “perhatikan cara
berjalannya seorang pendeta atau biksu, mereka dengan gagah dan percaya dirinya
berjalan sambil memegang kitab di depan dadanya. Terpancar dari wajah mereka,
begitu bangganya mereka pada ajaran yang dianutnya. Orang Muslim pun sangat
bisa mengikuti cara mereka, tidak meninggalkan Al-Qur’an dimana pun. Setidaknya
Al-Qur’an akan menjadi saksi benda apa yang kita bawa manakala kita menghadapi
sakaratul maut yang tidak mengenal tempat.”
Saksikanlah bahwa aku seorang Muslim! Tinggalkan alasan-alasan
klasik yang dapat menghalangi terjunnya kita menjadi Muslim Kaaffah. Siap?
Pasti!
Ustadz
Yusuf Mansur berkata: “Muslim itu hebat dan selalu bisa jadi pemenang”. Ya,
karena seorang Muslim sangat berpeluang untuk menjadi lebih baik. Tunjukkan bahwa
Muslim itu bisa jujur, bersih, dan bermanfaat bagi manusia lainnya. Tunjukkan
bahwa Muslim itu bisa disiplin, bisa rapi, bisa hidup tertib dalam semua
bidang, baik politik, ekonomi, bisnis, pendidikan, maupun agama. Dimana pun
kita berada, mari kita tunjukkan bahwa Muslim itu hebat dan selalu bisa menjadi
pemenang! Semoga Allah selalu menguatkan ghirah kita dalam kondisi apapun.
Oleh : Immawati Dini Fitrah
Eristanti
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot