Minggu, 10 Februari 2013

Menggenggam Bara Ghirah Berislam

Mengelola diri menuju semangat (ghirah) berislam merupakan perjuangan keras. Mengendalikan diri yang penuh gelora dan vitalitas itu agar tunduk kepada Allah tidak mudah dan tidak sederhana. Alasan kita dihadapkan dengan dua kenyataan yang antagonistik adalah hal yang mendasar sebagai manusia dan hamba Allah. Di satu sisi kita ingin menjadi baik, tetapi di sisi lain syaitan pun berusaha membelokkan dan menyesatkan ke jalan sesat dan maksiat. Inilah yang sering dirasakan sebagai pertarungan dan pertentangan yang berat.

Bagaimana dengan kita? semakin kita kalah dengan godaan pada usia muda, seperti itulah akhir kehidupan kita. Sebaliknya, semakin sering kita berhasil menghadapi berbagai godaan, demikian itulah akhir kehidupan kita.
Marilah sejenak memaknai kembali keislaman kita. Sungguh miris istilah “Islam KTP” yang sangat booming akhir-akhir ini menjadi predikat untuk status keislaman kita. Yang berarti keislaman kita hanya dianggap tidak lebih sekedar formalitas pelengkap administrasi sebagai warga Negara. Tentu kita ingin menyandanng status tersebut, bukan? Pilihan kita jatuh pada Islam apakah karena nenek moyang kita beragama Islam (tradisionalitas)? atau hasil dari pencarian kritis kita (rasionalitas)? Ketika seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim, maka banyak tanggung jawab yang harus dipikul, dan di balik tanggung jawab itu tersimpan konsekuensi yang menguji kebenaran Islam di hati kita.

Ghirah
Ghirah artinya semangat; melindungi; membela. Dalam bahasa Indonesia sering disebut gairah. Kaitannya dengan Islam arti ghirah adalah “gereget” atau semangat membela Islam. Halnya yang kita ketahui bahwa seseorang yang bersemangat dalam hidupnya adalah seorang yang tidak mengenal rasa lelah, bergaul dengan lingkungan yang senantiasa akan mendekatkan pada Allah, ia berusaha dalam memakasimalkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat, ia adalah penebar kebaikan, teratur dalam suatu urusan dan sangat dimungkinkan secara fisik ia tak lepas dari senyum, wajahnya ceria, langkah ia berjalan berirama dan tegak, bukan jalan santai saat bertamasya.
Ghirah seseorang akan muncul dan dirasakan jika ia merasa memiliki, percaya diri, dan berkeinginan kuat untuk membela hingga tak ingin sesuatu menodai bahkan merusak objeknya. Ghirah dalam berislam diawali rasa kecintaan yang menggelora kepada penyampai Risalah, ajaran-ajarannya, dan semangat menebar kebaikan dimana pun ia berada demi terciptanya keindahan Islam yang sebenarnya. Setiap hembusan nafas dan langkahnya selalu ia libatkan Allah swt. adalah bukti kecintaan dan gairahnya sebagai kekuatan dalam memperjuangkan apa yang ia emban, sebagai Muslim.
Jika kita telisik lagi bagaimana totalitas umat Islam terhadap Islam sendiri saat ini  sangat minim. Menipisnya ghirah di hati umat Muslim umumnya akibat dari gaya hidup yang hedonis, atau mempertuhankan kekayaan, cenderung memburu materi, kekayaan menjadi bahan untuk dipamerkan. Selain itu yang tak kalah mengimbasinya adalah terbiasa dengan lingkungan yang menghalalkan hal-hal yang sebenaranya haram, acuh tak acuh terhadap lingkungan, bahkan bisa jadi karena takut dituduh golongan ekstrim dan membela teroris.

Isyhad bianna Muslimuun!

Keindahan Islam (The Beauty of Islam) itu sangat luar biasa dan mengagumkan. Berbagi, saling mendo’akan dan saling menyayangi dengan sesama, hubungan antara lawan jenis, berbagai aspek ibadah yang berdampak positif pada sosial, kesehatan, dll adalah sedikitnya bagian dari keindahan yang dapat dirasakan saat benar-benar terjun pada kedalaman Islam.
Kalau pun ada salah dalam implementasi dan aplikasi di lapangan (politik, hukum, etika, bisnis, dan lainnya) adalah pemeluknya, bukan agamanya. Muhammad Abduh menilai: “Al-Islamu Mahjubun bil Muslimun”, Islam itu tertutup oleh kelakuan umat Islam sendiri. Kita dapat artikan bahwa kesempurnaan dan kemuliaan ajaran Islam itu tertutup oleh akhlak, kelakuan, kata-kata kaum Muslim sendiri yang sering tidak menunjukkan bahwa Islam sebenarnya sudah mempunyai ajaran-ajaran khusus untuk segala aspek kehidupan. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk segera memantapkan terjunnya kita di dalam Islam.

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Begitu Allah tidak menginginkan hambanya berpegang pada Islam yang hanya setengah-setengah. Bagaimana pun genggaman Islam di hati kita harus secara keseluruhan. Menunjukkan jati diri sebagai seorang Muslim perlu lah ditonjolkan, berpakaian syar’i, berakhlak santun, adalah cara yang dapat ditempuh untuk memperkenalkan kita sebagai seorang Muslim. Teringat guru Kemuhammadiyahan saya saat SMA, Bapak Iwan Setiawan berpesan, “perhatikan cara berjalannya seorang pendeta atau biksu, mereka dengan gagah dan percaya dirinya berjalan sambil memegang kitab di depan dadanya. Terpancar dari wajah mereka, begitu bangganya mereka pada ajaran yang dianutnya. Orang Muslim pun sangat bisa mengikuti cara mereka, tidak meninggalkan Al-Qur’an dimana pun. Setidaknya Al-Qur’an akan menjadi saksi benda apa yang kita bawa manakala kita menghadapi sakaratul maut yang tidak mengenal tempat.”
Saksikanlah bahwa aku seorang Muslim! Tinggalkan alasan-alasan klasik yang dapat menghalangi terjunnya kita menjadi Muslim Kaaffah. Siap? Pasti!

Ustadz Yusuf Mansur berkata: “Muslim itu hebat dan selalu bisa jadi pemenang”. Ya, karena seorang Muslim sangat berpeluang untuk menjadi lebih baik. Tunjukkan bahwa Muslim itu bisa jujur, bersih, dan bermanfaat bagi manusia lainnya. Tunjukkan bahwa Muslim itu bisa disiplin, bisa rapi, bisa hidup tertib dalam semua bidang, baik politik, ekonomi, bisnis, pendidikan, maupun agama. Dimana pun kita berada, mari kita tunjukkan bahwa Muslim itu hebat dan selalu bisa menjadi pemenang! Semoga Allah selalu menguatkan ghirah kita dalam kondisi apapun. 

Oleh    : Immawati Dini Fitrah Eristanti

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot