Rosmania Robochatun 15 Mei 2015
Terik matahari yang tak mau mengalah memberi sengatan nyeri pada
kulit, keringat deras mengalir keluar dari pori-pori kulit di tengah siang ini.
Duduk aku di warung makan di pinggir jalan ring road dengan ketidaknyamanan karena panas yang semakin menjadi. Lewat seorang bapak-bapak menuntun sepedanya yang
penuh dengan karung-karung terisi rongsokan. Hanya topi yang ia pakai untuk
melindungi kepala, sepasang sendal sederhana untuk melindungi kakinya dari
panas aspal pun tak ia punyai. Dengan rasa iba yang aku punya membuat aku
merasa harus mendekati bapak pekerja keras ini. Alhasil, ia memang mencari
nafkah untuk hidup anak dan istrinya dengan mencari rongsokan.
ATMOSFER KITA
Dalam menu kali ini mungkin akan sedikit saya sajikan tentang mahasiswa
pergerakan tapi sedikit melakukan gerakan. Fahd Djibran dalam bukunya
“Insomnia Amnesia” menyebutkan sejumlah nama pergerakan mapan seperti IRM,
PMII, IMM, KAMMI, HMI, GMNI dan masih banyak lagi pergerakan mapan lain. Sejauh
yang saya tahu, Muhammadiyah memiliki beberapa pergerakan mapan demi untuk
mencapai tujuan terhadap misi dakwahnya. Tak jauh mencari salah satu pergerakan
mapan itu dari kita, misalnya saja IMM
kita. Tidak banyak juga yang saya tahu tentang sel-sel yang terdapat di dalam
ikatan juang kita ini. Yang sedikit saya tahu hanyalah atmosfer dalam setiap
partikel-partikel yang berkombinasi di dalamnya. Sebuah ikatan juang ini sebut
saja atmosfer kita.
Pada DAD 2013 lalu, saya masih ingat adanya materi tentang sejarah
IMM, yang kemudian pembahasan meluas pada musuh-musuh kita yang sebenarnya
dalam ikatan juang ini yaitu kebodohan dan kemiskinan. Bentuk implementasi dari
ikatan juang kita terhadap menangani masalah kebodohan adalah dengan adanya
diskusi-diskusi yang dengan banyak inovasi dan refleksi. Pada kenyataanya juga
lah diskusi-diskusi sebagai salah satu cara memerangi kebodohan itu telah
terealisasi secara tersurat.
Namun terlepas dari hal itu mahasiswa seperti terlupa akan musuh
yang senantiasa terus menggerogoti atmosfer kesejahteraan masyarakat yaitu
kemiskinan. Apakah wujud tak lupa nya
kita adalah dengan mengabdikan rasa sosial mahasiswa pergerakan mapan
melalui bakti– bakti sosial yang hanya diadakan setiap tiga atau empat
kali dalam satu tahun? Atau malah kurang dari itu frekuensi
wujud bakti kita pada masyarakat? Mungkin kita yang masih bergelar mahasiswa
ini masih lupa apa dan harus bagaimana membawa pulang kembali kesejahteraan
masyarakat ke dalam ruang-ruang yang nyata dan bisa diraba dampaknya. Mahasiswa
masih tertalu banyak mendominasi ruang-ruang diskusi yang terefleksi di
ruang-ruang nyata namun sama sekali tidak habitus.
Mahasiswa pergerakan yang masih merasa nyaman. Masih merasa nyaman dan
tak merasakan akan ada bahaya yang hampir-hampir menerjang. Itulah kita dalam
posisi yang semakin membuat terlena pada arus sungai apatis yang deras
alirannya. Seandainya saja mahasiswa hidup dalam ketertindasan, tidak akan ada
lagi mahasiswa yang hanya pandai berdebat dan berwacana tanpa memiliki bentuk karya yang
jelas dan bermanfaat (misalnya tulisan, menyumbangkan waktu dan tenaganya dan
lain-lain). Posisi nyaman ini yang
seharusnya bisa membuat mahasiswa nyaman dalam bergerak memerangi kebodohan dan
kemiskinan, malah justru menjadi angin yang sepoi-sepoi seperti sedang
mengantarkan kita tertidur dengan nyenyak dan bermimpi indah berjalan ditepi
pantai yang landai.
Musuh utama kita kian lama kian berdendang dan bersenandung riang
tanpa adanya perlawanan dari kita yang mana menyandang mahasiswa pergerakan
yang hanya selesai pada bangku diskusi dan perdebatan kritis mengenai persoalan
yang dianggap lebih penting. Dan memunculkan sebuah pertanyaan. Pernahkah kita
benar-benar memikirkan mereka yang membusung dan lapar? Dan merelakan darah
juang kita menetes ke tanah air tempat kita berbakti? Apakah itu hanya sebatas
syair nyanyian semata? Musuh yang tengah menjelma semakin parah pun nampaknya
tak cukup menjadi cambuk bagi kita. Lalu cambuk seperti apa yang kiranya
serangkai dengan niat perjuangan kita?
Mungkin ketertekanan bisa menjadi cambuk bagi kita dalam berjuang
melawan kemiskinan dan kebodohan sebagai musuh kita. Atau bahkan bisa sebagai
bahan bakar mengobarkan semangat juang agar darah juang tak hanya sekedar
nyanyian pengantar tidur panjang. Sekali lagi, ketertekanan. Iya ketertekanan.
Mungkin tekanan yang ada bukanlah seperti gejolak di Palestina
atau di Yaman. Tapi analisis awam sudah mendapatkan nilai dominan. Bahwa ketika
hidup dalam ketertindasan itu biasan membuat kita semakin kuat dalam bertekad.
Sebut saja pasukan HAMAS melawan Israel, mereka tidak akan ditakuti oleh
tentara Israel jika mereka tidak lebih kuat dari tentara Israel. Hipotesisinya
adalah kekuatan mereka ada karena adanya dorongan kuat pula melawan mereka yang
menindas dengan tekanan-tekanan yang luar biasa.
Tapi kita tak perlu menjadi seperti pasukan HAMAS. Hanya saja mari
sama-sama kita pahami, bahwa posisi nyaman kita tak selamanya membawa kita pada
keselamatan dan hakikat kebahagiaan atas amanah yang kita punya, tetapi posisi
sebagai pergerakan mapan ini bisa jadi bumerang bagi kita karena merasa nyaman sampai
tak sadar ada kantung-kantung amanah di atas pundak kita. Tersenyumlah kawan
jika sedikit kita mampu melawan musuh
kita seandainya kita dalam ketertekanan pasti kita bisa berbuat lebih dalam
perjuangan ini. Tak hanya bersandar pada ruang diskusi yang terlalu matang karena
terlalu sering dilakukan. Tak hanya berwacana dan bernyanyi lagu darah
juang.tapi lakukan yang paling utama dari improvisasi yang biasa terjadi
diantara atmosfer kita.