DILEMATIK DAKWAHTAINMENT:
Alternatif Hiburan VS Edukasi Religi
“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl [16]: 125)
slam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin
sepatutnya menjadikan umatnya tergerak agar menjadi individu rahmatan lil ‘alamin. Umat yang selalu ‘stand by’ pada pergerakan zaman yang
terus menantang pada kemajuan global, dan tentu menjadi garda terdepan saat
potensi dan gejala-gejala nilai keislaman tergerus oleh perkembangan yang
memerangi keluhuran ajaran Islam.
Dengan
asumsi bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai ranah Masyarakat Informasi,
hal ini menjadikan media digadang-gadang sebagai komoditas lahan strategis untuk
perluasan sektor dakwah. Keluwesan masyarakat terhadap media informasi
merupakan mangsa yang empuk untuk dijadikan objek dakwah melalui media.
Produsen mediapun tak kalah cerdik untuk mengimbangi potensi yang ada. Sehingga
situasi yang sinkron menemui titik terang dalam mengakomodir program-program
bertajuk religi. Dengan kata lain, potensi dakwah memerlukan saluran untuk
melancarkannya, dan media begitu welcome
menjadi wadah penyalurannya.
Memang,
dengan kondisi seperti saat ini sangat memudahkan untuk segala aktivitas,
termasuk perluasan teritorial dakwah, hingga nilai-nilai Islam diharapkan
membumi dan merekat dalam kehidupan keseharian. Namun kita jangan terkecoh
dengan semua situasi tersebut, kita lihat begitu banyak problematika yang
menyeret esensi dakwah yang tercemar karena kapitalisasi dan politisasi media.
Ini terjadi karena media sebagai wadah strategis justru lebih mementingkan
eksistensinya agar digandrungi oleh pemirsa. Rating menjadi simbol andalan prestasi sebuah media, tanpa melihat
sarat akan nilai-nilai yang tersampaikan kepada audiens.
Kita
tarik televisi yang menjadi media untuk objek kajian, spesifikasinya terletak
pada program religi. Sudah sangat terlihat jelas oleh kita bahwa substansi
dakwah hilang karena tujuan-tujuannya tergeser oleh hiburan yang di dalamnya
terlalu mendominasi konten program sesungguhnya. Da’I yang digandrungi dan
menjadi trading topic adalah yang
memiliki kemampuan melawak, bahkan seringkali yang nampak bukan citra diri
sebagai penyampai dakwah justru melebihkan porsinya sebagai pelawak sejuta
fans. Belum lagi gimmick atau jargon mereka (da’I dan da’iah) untuk
menarik perhatian terkesan lebay dan
dramatis.
Di
segmen lainnya, program religi menyediakan hadiah jutaan rupiah untuk pemirsa
di studio maupun di rumah, ini terkesan mengimingi-imingi materi agar tidak
kehilangan partisipasi pemirsa. Maka timbul pertanyaan yang mengarah pada
transformasi niat pemirsa, “apa niat
pemirsa yang sesungguhnya? Benar untuk mengaji atau sekedar mengharap hadiah?”.
Khusus
di bulan Ramadhan dan Idul Fitri iklan-iklan di televisi banyak bertebaran
nuansa keislaman, menghangatkan suasana. Namun yang kita lihat bahwa Islam di
dalam iklan seolah hanya berupa simbol-simbol tertentu, seperti jilbab, peci,
buka puasa, masjid, beduk, warna putih, dan lain-lain. Selain itu isi iklan
yang disampaikan terkadang terbilang terlalu menyederhanakan sebuah perkara
yang kerap terjadi dalam diri orang yang berpuasa, misalnya menahan amarah
selama menjalankan puasa dapat dikategorikan sebagai sukses dalam kesabaran
jika setelahnya minum teh atau minuman, begitulah nilai ajaran Islam dalam
iklan. Semuanya cenderung menampilkan nilai-nilai yang praktis dan nampak bias.
Itulah nilai-nilai Islam yang menjadi korban konversi media.
Masih
banyak kasus yang membalut nilai Islam yang dipaksakan dalam media-media
tertentu. Kita perlu mengetahui bahwa tujuan antara media seperti televisi
dengan dakwah yang sesungguhnya sangatlah berbeda. Televisi cenderung untuk
hiburan, sementara dakwah yang mengarah pada sifatnya yang sakral. Keduanya
sulit untuk saling membalut agar tujuan esensi dakwah untuk benar tersampaikan
pada pemirsa.
Kita
tidak bisa memungkiri, bahwa kita terbentur pada minat pemirsa yang sulit untuk
memiliki kesadaran mempelajari ajaran Islam itu tanpa embel-embel hiburan yang
kurang berkualitas. Mulailah cerdas saat memilih tayangan di televisi maupun
media lainnya. Kritislah pada makna yang disampaikan hingga sebuah hikmah
tertangkap dan menjadi rujukan keteladanan yang harus diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka terciptalah sebuah idealitas akan kebutuhan
masyarakat terhadap media dakwah; menyampaikan secara arif dalam konteks sosial
dan agama.
--Dini
Fitrah Eristanti--