Nama saya Riyan, sudah dua hari ini saya menghabiskan waktu liburan di rumah sederhana saya yang letaknya tidak jauh dari empang tempat bermain saya waktu kecil. Segala bentuk hiburan untuk menghindari kebosanan sudah saya persiapkan dengan matang. Mulai dari novel biasa sampai buku-buku yang menurut saya berat sepert buku Fiqh politiknya Hasan al-Bana. Tak ketinggalan saya juga menyediakan seabrek jenis film dari film misterius sampai film cengeng.
-
Ngomong-ngomong soal film, saya jadi inget kejadian sebulan yang lalu.
Waktu itu saya, Desta dan Viko memaksa Wira ikut nonton bareng di bioskop. Kami
bertiga nantangin Wira buat nonton film horror, secara, kami tahu dari riwayat
kesehatan Wira menunjukan bahwa dia pobia film horror . Itung itung
sekalian praktek hipnoterapi. Awalnya Wira si menolak keras ajakan kami,
tapi dengan segala bentuk pemaksaan akhirnya Wira pun tunduk patuh pada ajakan kami.
-
"Yang ini aja bro ada Julia Peres nya," celetuk seorang cowok
asing di sebelah saya sambil menunjuk sebuah judul film yang terpampang di
papan bagian Now Showing.
-
Kalau saya tidak salah melirik judul film itu adalah Suster Mandi.
Kebetulan kali ini yang menentukan judul filmnya adalah saya, dari refrensi
yang saya peroleh barusan, akhirnya kami sepakat untuk nonton film Suster
mandi.
Kira-kira 30 menit berlalu tapi saya tidak menemukan sedikitpun raut wajah
Wira yang ketakutan. “Wir, kamu kok biasa aja si, harusnya kamu takut doong, gimana si Wir !.
Saya tau kalimat saya ini terkesan sedikit memaksa."
-
“Gimana aku mau takut Yan, orang dari tadi setannya mandi mulu, mana seksi
gitu setannya, itu kan bukan suatu hal yang menakutkan Yan, tapi mengagumkan,”
jawab Wira dengan muka polosnya.
-
Hahaha.. dari jawaban Wira tadi saya mulai sedikit berfikir. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya pada pecinta film yang sejenis itu, saya
menyimpulkan sendiri, ternyata susah membedakan antara film horror dengan film
porno. Saat ini memang banyak sekali kita jumpai film-film horror khususnya di
Indonesia yang lebih mengedepankan sisi pornografinya dari pada sisi
kehorrorannya. Bahkan tidak tanggung-tanggung bintang filmya didatangkan dari
luar negeri, dan pastinya bintang film porno juga. Saya bener- bener nggak tahu
siapa si yang menjadi anggota dari Lembaga sensor film di Indonesia ini
dan cara kerjanya itu seperti apa, kok bisa-bisanya film yang seperti itu bisa
lulus sensor.
-
Mungkin hal ini
kelihatannya sepele, namun perlu disadari bahwa pornografi ini tidak hanya
dalam film layar lebar saja yang untuk menontonnya cukup mengeluarkan banyak
uang, tetapi pornografi sudah merebak ke berbagai media yang lebih murah
seperti majalah, internet dan pastinya televisi yang bisa dinikmati oleh semua
kalangan. Tayangan-tayangan yang disajikan oleh media televisi banyak yang
mengandung pornografi. Dari mulai program berita, kuis, sinetron, acara
musik dan yang tidak ketinggalan adalah program infotainment yang banyak
mengangkat kehidupan para selebritis yang notabenenya adalah akar dari
pornografi itu sendiri.
-
Acara-acara tersebut disajikan seakan tidak mengenal waktu dan
segmentasi audiens. Wajar saja kalau sering kita jumpai kasus-kasus tentang
razia aparat terhadap siswa-siswa yang menyimpan video porno dalam ponselnya
atau kasus tentang pemerkosaan. Dan yang belum lama ini bahkan masih sering
kita jumpai saat ini banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di mana
saja dan pada siapa saja. Kasus-kasus di atas bisa dikatakan dampak dari media,
khususnya televisi yang selama ini hanya memperhatikan eksistensi saja, lebih
mengutamakan peningkatan rating ketimbang moralitas masyarakat.
-
Untuk mencegahnya tidak bisa dengan melarang masyarakat untuk menonton
televisi. Tetapi peran pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah yang seharusnya
lebih mengontrol tayangan-tayangan dalam televisi. Sekarang ini di
Negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika sudah mulai mengontrol secara ketat tayangan yang berbau
porno pada saat jam tayang keluarga atau yang biasa disebut “prime time”. Nah sekarang seharusnya saatnya Indonesia
mulai melakukan hal yang serupa supaya bangsa ini benar benar kritis moralitas.
-
Oleh : Immawati Wilda
Jauharoh (KPI 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot