Pasca reformasi, kebebasan terbuka seperti layaknya sebuah pintu gerbang yang tidak pernah tertutup. Gerakan mahasiswa yang mempelopori jatuhnya orde baru muncul menjadi sosok pahlawan super yang memberikan stimulus kepada gerakan mahasiswa di kampus-kampus. Adanya reputasi kepahlawanan yang mengawali sejarah panjang perjuangan pergerakan mahasiswa menyemaikan tumbuh kembangnya aktivis-aktivis kampus.
Suatu hal yang baik ketika
keikutsertaan para aktivis kampus ini dalam mengawal dan mengawasi perjalanan
demokrasi pasca orde baru. Namun yang terkadang membuat orang kehilangan
kekaguman terhadap setiap aksi yang dilakukan oleh para aktivis kampus ini
adalah sering terjadinya demo anarkhi yang berujung pada kerusuhan. Selain itu
juga, setiap pemerintah mengambil kebijakan baru, mahasiswa selalu bersuara
antara pro dan kontra, namun keseringan kontra. Seakan-akan apa yang dilakukan
oleh pemerintah tidak pernah benar.
Perkembangan dan keberadaan lembaga
kemahasiswaan memang dilindungi oleh peraturan yang dikeluarkan oleh Dikti atau
departemen terkait. Namun kenyataannya saat ini, dengan adanya kebebasan itu
maka munculah aktivis-aktivis kampus yang secara nurani dipertanyakan. Sehingga
pandangan masyarakat yang telah menjustice pergerakan mahasiswa sebagai
biang kerok kerusuhan tidak dapat dihindari lagi.
Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan
bahwa aktivis-aktivis yang mengaku dirinya memiliki idealisme ternyata tidak
dapat membuktikan diri dan pengabdiannya sebagaimana idealisme perjuangan
pergerakan mahasiswa yang sesungguhnya. Banyak aktivis mahasiswa yang
berbenturan dengan masalah akademik, bukanlah sebuah kebohongan jika banyak
aktivis yang masuk dalam barisan orang-orang yang terancam DO karena nilai
akademiknya yang mengkhawatirkan. Ini bukan intimidasi atau permainan dari
dosen semata. Tapi memang itulah kenyataannya. Idealisme yang tidak terarah,
sehingga mengakibatkan pergerakan dan akademik tidak sejalan.
Idealisme mahasiswa sekarang entah
kemanakah arahnya. Bahkan bagi saya omong kosong dengan idealisme mereka.
Bayangkan, mahasiswa yang dulunya berteriak idealisme ini dan itu, namun ketika
dia keluar atau menyelesaikan pendidikan di almamaternya dia sibuk mencari link
ilegal untuk memperoleh pekerjaan. Alangkah indahnya jika para aktivis kampus
tidak hanya macan pada saat demonstrasi tapi juga menjadi macan dalam prestasi
akademik. Menjadi orator yang baik saat dibutuhkan bukan menjadi provokator
saat aksi damai. Alangkah terhormatnya almamater yang disandangnya saat para
aktivis kampus menjadi lulusan-lulusan terbaik yang memperoleh gelar akademik
yang diimpikannya.
Bukan kemudian semisal membayar
sejumlah uang untuk menjadi PNS, atau bahkan mencari kenalan yang bisa
membantunya masuk pekerjaan dari jalur tikus yang tidak seharusnya dilewati.
Apakah itu yang disebut dengan idealisme. Sementara masa muda mereka dihabiskan
teriak idealisme sementara masa tua mereka mempermalukan diri sendiri dengan
omong kosong yang dibuat sendiri.
Bagi kawan-kawan yang aktif dalam
lembaga kemahasiswaan di dalam maupun di luar kampus, terlebih-lebih Kader Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), janganlah mudah menyebut diri kita sendiri sebagai aktivis, jika kita memang belum benar-benar pantas untuk
menyandang gelar kehormatan itu. Oke lah kalau kita
memang ingin menyandang gelar itu, tapi pastikan kita adalah bukan orang yang tidak pandai dan
pintar, pastikan juga kita memberikan arti
bagi alamater dan bangsa ini. Aktivis bagi saya sama seperti gelar
kebangsawanan yang tidak sembarangan disandang oleh orang yang tidak pantas dan
tidak berhak untuk itu.
Oleh : Immawan Iqbal
Rezza Fahlevie (Pai UMY 2010)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot