IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Selasa, 21 Maret 2017

Terjebaknya Masyarakat Kedalam Ruang Hiperealitas



Oleh:
IMMawan Muammar Rafsanjani
PK FAI UMY


Terjebaknya Masyarakat Kedalam Ruang Hiperealitas

Dewasa ini dalam arus globalisasi yang sangat deras banyak sekali memberikan dampak yang begitu besar kepada masyarakat, baik yang positif maupun. Apabila kita perhatikan dengan teliti, globalisasi ini menghadirkan begitu banyak komoditas kepada masyarakat global. Banyaknya komoditas ini kemudian menjadi sebuah hutan belantara komoditas yang mengelilingi masyarakat secara global. Hal ini tentu tidak lepas dengan wacana kapitalisme global yang menghadirkan berbagai macam komoditas tersebut kepada masyarakat. Apapun dapat dijadikan komoditas, mulai dari tontonan, makanan, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, produk kecantikan dan sebagainya. Bahkan sampai kepada hal yang tidak terduga, manusia dan agamapun dijadikan sebagai sebuah komoditas yang diperjual-belikan. Sebagai contoh instagram @jrsugianto (Tatan) atau acara-acara televisi di bulan Ramadhan.
Masyarakat yang dikelilingi hutan belantara komoditas ini kemudian cendrung tidak lagi mencari realitas sejati melainkan realitas yang semu. Atau lebih tepatnya masyarakat dewasa ini terjebak kedalam sebuah ruang hiperealitas. Dimana  pada ruang hiperealitas tersebut terjadi transparansi sekat pemisah antara yang asli dan palsu, benar dan salah, nyata dan fantasi. Sehingga masyarakat tidak mampu lagi untuk membedakan antara yang asli dan palsu, benar dan salah, nyata dan fantasi.
Berbagai macam komoditas yang hadir mencoba menawarkan kesenangan kepada masyarakat. Pertandingan sepak bola di televisi misalnya, tontonan ini dapat membius jutaan masyarakat dalam skala global. Atau produk industri seperti iphone, kendaraan dan teknologi lainnya yang juga menawarkan kesenangan kepada masyarakat yang mampu memilikinya. Hal-hal semacam ini hanya akan menenggelamkan masyarakat kedalam keadaan ekstasi yang berupa kesenangan atau kebahagiaan semu. Masyarakat mencoba mencari hiburan atau tontonan untuk sejenak melupakan hiruk-pikuk dunia yang ditinggalinya dengan mencoba menonton pertandingan sepak bola di televisi, namun kesenangan ini adalah kesenangan semu yang setidaknya hanya berlangsung kurang lebih 2 jam. Masyarakat menginginkan produk-produk industri yang dipasarkan melalui media massa yang sebenarnya bukan kebutuhannya, namun hanya sebatas untuk memperoleh kesenangan. Namun, produk-produk ini di produksi secara massif dalam kecepatan yang begitu cepat yang bahkan melampaui batas-batas budaya. Yang terjadi adalah industri ini selalu menghadirkan versi terbaru produk-produk sehingga masyarakat tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya.
Jean Baudrillard dalam wacana simulasinya menjelaskan bahwasanya terdapat sebuah ruang realitas dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam ruang realitas tersebut terjadi dekonstruksi representasi yang kemudian mencoba menkonstruksi sebuah realitas baru tanpa asal usul realitas yang jelas dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita analogikan pada sebuah peta, peta merupakan representasi dari sebuah wilayah territorial yang berarti ada wilayah territorial dulu baru kemudian direpresentasikan dengan peta. Namun, pada hiperealitas justru peta dulu baru wilayah territorial. Dan fenomena yang terjadi hari ini, acara sinetron di televisi justru lebih ampuh dalam membentuk karakter anak dibandingkan mata pelajaran akhlak disekolah. Penggambaran tokoh pada film justru lebih ampuh membentuk kepribadian seseorang dibandingkan filsafat.
Sebagaimana salah satu fungsi dari komunikasi massa yaitu, influence. Maka ,menggunakan media massa dalam mendifusikan realitas semu ini cukup ampuh untuk mempengaruhi khalayaknya agar terjebak kedalam ruang hiperealitas. Dalam penyebarannya tersebut biasanya mengandung budaya bujuk rayu. Dalam budaya bujuk rayu ini apapun dibenarkan, yang palsu dianggap asli, yang fantasi dianggap nyata. Sebagaimana sebentuk wajah penuh make up, maka yang ditampilkan adalah sebuah wajah yang mencoba menarik perhatian dan kepalsuan semata. Maka, dalam budaya bujuk rayu yang ditampilkan adalah ketertarikan, kepalsuan dan kesemuan. Bukan lagi realitas yang sejati. Dengan demikian, maka masyarakat yang terjebak kedalam ruang hiperealitas ini tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati.
Untuk itu, maka sudah selayaknya kita bersikap kritis terhadap apapun yang kita terima pada era globalisasi pada saat ini. Perlu adanya filterisasi terhadap dampak dari globalisasi tersebut sehingga kita mampu menyaring apa saja dampak positif yang dapat diambil dan dampak negatif yang perlu untuk ditinggalkan.